Akses terhadap pendidikan
Akses terhadap pendidikan memberikan informasi kepada publik tentang berapa banyak anak kita yang dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat. Indikator yang digunakan adalah: Angka Partisipasi, Angka Mengulang, Angka Putus Sekolah, Angka Kelulusan, Angka Melanjutkan, dan Angka Penyelesaian. Angka-angka ini bersumber pada data Depdiknas 2002. Di tingkat sekolah dasar (SD/MI) hampir semua indikator cukup memuaskan. Angka Partisipasi tahun 2002 cukup tinggi (APM: 94,04; APK: 113,95; dan APS: 98,53), berarti hampir semua anak usia 7-13 tahun tertampung di sekolah. Angka Mengulang (5,4 persen) dan Angka Putus Sekolah (2,7persen) cukup rendah.
Persoalan timbul ketika kita mengamati Angka Menyelesaikan (tepat waktu) dan Angka Melanjutkan. Meski kebanyakan anak yang melanjutkan ke SD/MI akan lulus, tetapi hanya sekitar 71,8 persen yang berhasil menyelesaikan sekolah tepat waktu (enam tahun). Angka Melanjutkan juga amat mengkhawatirkan, karena hanya separuh (51,2 persen) yang akhirnya
melanjutkan ke SMP/MTs.
Angka Partisipasi di SMP/MTs dan tingkat selanjutnya amat dipengaruhi Angka Menyelesaikan dan Angka Melanjutkan yang relatif rendah. Di tingkat SMP/MTs, Angka Partisipasi 2002 cukup tinggi (APM: 59,18; APK: 77,44; APS: 77,78) dan Angka Mengulang (kurang dari 0,5 persen untuk semua kelas) dan Angka Putus Sekolah (3,5 persen) juga cukup rendah. Sekali lagi yang mengganggu adalah Angka Menyelesaikan karena hanya 45,6 persen yang sanggup menyelesaikan sekolah tepat waktu.
Kualitas pendidikan
Sebagai bangsa yang menyongsong kemajuan Iptek yang amat pesat, kita masih harus berkutat dengan kualitas pendidikan. Terlepas dari kesahihan standar kualitas dalam Ujian Nasional, hasil yang diperoleh adalah baik di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan kurang dari 60 persen dari materi belajar yang dikuasai siswa. Ini amat merisaukan. Jika standar kualitas itu digunakan untuk menilai kualitas sekolah di tingkat SMP/ MTs, maka hanya 24,12 persen SMP/MTs yang masuk kategori "sedang" ke atas. Di antara mereka hanya 0,03 persen yang tergolong "baik sekali" dan 2,14 persen tergolong "baik".
Jika rasio guru : siswa (1 : 23) dan siswa : kelas dijadikan salah satu tolok ukur kualitas, maka kesan yang diperoleh adalah standar mutu telah dipenuhi. Meski demikian, pengamatan di lapangan menunjukkan distribusi guru dan kelas memang tidak merata, terutama antara kota dan desa. Selain itu, untuk semua provinsi masih ada sekolah-sekolah SD/MI maupun SMP/ MTs yang harus melakukan jam masuk sekolah ganda (double shift) karena kekurangan ruangan. Ketersediaan Laboratorium IPA, Bahasa, dan IPS baru dinikmati 68 persen dari sekolah SMP/MTs yang ada meski tanpa ada informasi tentang kelayakan fasilitas yang ada. Kualitas fisik yang digunakan sebagai tolok ukur adalah kerusakan atau kelayakan ruang kelas. Data menunjukkan, kurang dari separuh (42,82 persen) fasilitas ruang kelas SD/MI berkategori "baik" dan pada tingkat SMP/MTs 85,78 persen dalam kategori itu.
Kualitas guru sudah menjadi perhatian nasional. Kriteria kualitas ditentukan dengan prasyarat pendidikan, yaitu D2 untuk mengajar di SD/MI dan D3 untuk SMP/MTs. Berdasarkan kriteria itu, hanya 49,9 persen guru SD/MI dan 66,33 persen guru SMP/MTs yang memenuhi standar kualitas. Sayang, standar kompetensi bidang pelajaran fakultatif tidak tersedia. Akses terhadap buku pelajaran wajib merupakan tolok ukur kualitas yang penting. Pada tingkat SD akses terhadap buku adalah 75 persen untuk bidang studi Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Angka akses terhadap buku menyembunyikan keragaman antarprovinsi. Dari data yang tersedia masih ada kesenjangan dalam akses terhadap buku wajib yang berkisar dari 38,8 persen sampai 99,3 persen (persentase penyediaan buku yang paling rendah adalah buku IPA).
Mencari solusi
Rata-rata akses terhadap buku pelajaran wajib pada tingkat SLTP sebesar 70 persen dengan kesenjangan berkisar dari 37,6 persen sampai 99,5 persen. Dari data yang ada, penyediaan buku-buku IPA, Fisika, dan Biologi masih terbatas. Selain akses, mutu dari isi pelajaran juga mungkin bermasalah. Menurut analisis Sri Redjeki (1997), sebagai contoh, ditemukan isi buku-buku teks biologi SD-SLTA di Indonesia tertinggal 50 tahun, begitu pula dengan buku teks geografi SLTP yang menunjukkan banyak informasi yang disajikan sudah usang.
Solusi yang baik berawal dari pengetahuan yang baik atas masalah. Data-data itu tersedia di lingkungan departemen. Artinya, semua birokrat pendidikan tahu masalah dalam angka itu. Meski demikian, ada aneka masalah lain yang diketahui, tetapi tak pernah dijadikan kajian serius dalam policy making. Misalnya, kita tahu dengan subsidi pemerintah, masyarakat mampu menyekolahkan anak ke SD meski masih banyak yang terseok-seok karena biaya yang dipaksakan, yaitu buku pelajaran nonterbitan Depdiknas, seragam, sepatu, serta transportasi dan makanan (jajan) untuk anak. Pada tingkat SLTP, biaya jauh lebih besar. Persoalan ini klasik, tetapi solusi tak ada yang signifikan. Orangtua masih dipermainkan sekolah yang tidak menggunakan buku terbitan Depdiknas, membeli seragam dan membayar ongkos transpor dan makanan anak sendiri.
Hal lain yang juga diketahui adalah pengelolaan pendidikan di Indonesia dilakukan Depdiknas dan departemen lain, khususnya Departemen Agama. Investasi pada sekolah di kedua departemen ini amat berbeda sehingga menciptakan kesenjangan mutu. Kita tahu sekolah-sekolah berbasis agama di bawah Departemen Agama banyak dilakukan dalam skala amat kecil sehingga anak tidak terjamin kelanjutan studinya. Masalah ini diketahui, tetapi jarang dibahas karena sensitif. Kita juga tahu banyak sekolah SD yang rusak dan tidak layak pakai, tetapi aneka keluhan bagai teriakan di padang pasir. Penyebabnya jelas, tanggung jawab pembangunan ada di tingkat kabupaten (Depdagri melalui kantor dinas). Selain persoalan korupsi, tidak semua pemerintah lokal mempunyai komitmen yang tinggi pada sektor pendidikan. Kita sadar mutu pendidikan amat ditentukan kualitas dan komitmen guru, tetapi kita tidak dapat melawan kehendak zaman yang kian alergi dengan sekolah keguruan, IKIP, atau FKIP. Profesi guru menjadi tidak menarik di banyak daerah karena tidak menjanjikan kesejahteraan finansial dan penghargaan profesional. Kita tahu untuk memperbaiki sistem pendidikan dasar secara menyeluruh diperlukan komitmen tinggi masyarakat dan pemerintah. Masalah ini sering menjadi wacana politik dan tetap tinggal sebagai wacana seperti dalam grafik berikut. (grafik)
Dibandingkan dengan negara-negara serumpun, komitmen Indonesia sampai tahun 1999- 2001 adalah yang terendah. Kenyataan ini sudah lebih dari dua dasawarsa.Menghadapi semua masalah yang seharusnya dapat diatasi satu per satu secara serius, kita justru sibuk mengutak-atik kurikulum, "bermain-main" dengan Ujian Nasional, bereksperimen dengan sistem pengelolaan sekolah, sibuk dengan menata kembali peristilahan, dan mengacuhkan berbagai persoalan yang jelas-jelas ada di depan mata. Padahal, semua yang kita lakukan memerlukan sumber daya yang tidak sedikit yang akan lebih baik dialokasikan untuk menyelesaikan hal-hal yang lebih mendasar dulu. Dalam menyaksikan berbagai gebrakan Depdiknas, kita bertanya: Mau dibawa ke mana anak- anak kita? Jika pendidikan dasar dikelola seperti ini, sepuluh tahun lagi angka-angka yang sama akan kita jumpai. Semoga tidak demikian! Irwanto Dosen Fakultas Psikologi, Ketua Lembaga Penelitian Unika Atma Jaya, Jakarta.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/12/opini/1744895.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar