Profil Saya


Andhang Pramadhani yang biasa di panggil Andank, lahir di Pemalang sebuah kabupaten di Jawa Tengah, pada tanggal 16 Juni 1990. Saya anak kedua dari tiga bersaudara.

Pada saat saya berumur 4 bulan, saya langsung di bawa oleh ibu saya untuk pindah ke Bekasi karena harus mengikuti Ayah saya yang bekerja di Jakarta. Setelah umur saya menginjak 3 tahun, saya ingin merasakan pendidikan formal dan akhirnya saya di sekolah kan oleh Ibu saya di sebuah TK di daerah Bekasi, tapi maaf saya lupa dengan nama TK tersebut yang pasti tepatnya TK tersebut ada di Perumahan Villa Mas Garden Bekasi. Semasa di TK saya penah mengikuti sebuah perlombaan mewarnai antar TK dan saya menjadi juara pertama pada perlombaan tersebut. Pada saat umur saya 4 tahun, saya harus kembali lagi pulang ke kampung halaman saya di Pemalang, karena Nenek saya di rumah sendirian dan beliau sudah mulai sakit-sakitan, jadi Ibu saya harus menjaga dan merawatnya. Maklum, Ibu saya adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara.

Setelah pindah ke Pemalang, saya melanjutkan studi saya di sebuah TK di dekat tempat tinggal saya. Saya tinggal di Desa Randudongkal dan TK tersebut namanya adalah TK Salafiyah. Menginjak umur 5 tahun, saya sudah mulai merasakan kejenuhan serta bosan dengan suasana pembelajaran di Taman kanak-kanak karena saya sudah merasakan pendidikan tersebut selama dua tahun dan saya sudah lulus. Tetapi karena usia saya masih tergolong muda untuk melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar, maka Ibu saya menitipkan saya kepada seorang guru Sekolah dasar di daerah saya agar saya dapat merasakan pendidikan Sekolah Dasar. Guru tersebut tidak lain adalah tetangga saya sendiri. Pada awalnya saya hanya ikut-ikutan belajar saja, tetapi pada setiap caturwulan kelas satu, saya selalu mendapatkan peringkat di kelas. Jadi saya dapat meneruskan belajar sampai dengan kelas dua, hingga lulus dari pendidikan Sekolah Dasar. Saya mendapatkan pendidikan dasar di SD Negeri 5 Randudongkal.

Semasa belajar di Sekolah Dasar dari kelas satu sampai kelas enam, alhamdulillah hampir setiap caturwulan saya selalu mendapatkan peringkat di kelas. Sehingga pada saat saya lulus dari Sekolah Dasar, saya dapat melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama yang bagus di daerah saya. Saya melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama pada saat usia saya menginjak umur 11 tahun. Saya memperoleh pendidikan menegah pertama di SMP Negeri 1 Randudongkal. Pada awal saya memulai belajar di Sekolah Menengah Pertama, saya mulai merasakan perbedaan dalam pembelajarannya karena di tingkat Sekolah Menengah Pertama saya mendapatkan guru yang berbeda-beda setiap mata pelajaran. Berbeda pada saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar yang masih menggunakan guru kelas, hanya pada mata pelajaran tertentu saja guru lain yang mengajar. Jadi pada saat saya memulai belajar di tingkat Sekolah Menengah Pertama, saya harus menyesuaikan diri dengan keadaan baru tersebut. Karena pelajaran-pelajaran di tingkat Sekolah Menengah Pertama tergolong asing bagi saya, maka saya mengikuti pembalajaran tambahan di luar jam sekolah ( Les private ) dan usaha saya ini tidak sia-sia karena hampir setiap caturwulan atau semester saya selalu mendapatkan peringkat di kelas. Tidak hanya setiap caturwulan atau semester saja, tetapi pada saat Ujian Akhir pun saya mendapatkan nilai yang cukup memuaskan, sehingga saya dapat melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas dan dapat memilih Sekolah yang bagus.

Saya lulus pendidikan Sekolah Menengah Pertama pada usia 14 tahun dan saya langsung meneruskan pendidikan formal yang lebih tinggi lagi yakni pendidikan Sekolah Menengah Atas. Saya meneruskan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Pemalang. Tidak berbeda jauh pada saat saya pertama kali merasakan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Pertama, saya kali ini juga harus menyesuaikan diri dengan pembelajaran di Sekolah Menengah Atas karena pada saat saya menginjak pendidikan Sekolah Menengah Atas, kurikulum di negara Indonesia mengalami pergantian sehingga cara pembelajarannya pun akan berbeda. Pada saat itu kurikulum baru yang di pakai adalah Kurikulum Berbasis Kopetensi ( KBK ). Karena dalam kurikulum yang baru ini tidak ada urutan peringkat kelas, maka saya agak lumayan santai yang paling penting adalah nilai-nilai saya bagus. Dan pada saat saya menginjak usia 17 tahun, akhirnya saya lulus dari Sekolah Menengah Atas dengan nilai yang memuaskan.

Walaupun saya tidak menyukai jurusan yang saya ambil dan yang sudah saya jalankan selama 2 semester ini, saya masih tetap belajar dengan tekun agar dapat lulus tepat waktu dan mendapatkan nilai yang memuaskan. Aminnnnnn....

Sekian cerita perjalanan hidup saya, mungkin ada kata-kata yang kurang enak ataupun ada kesalahan dalam pengetikannya, saya pribadi memohon maaf. Terima kasih.

Minggu, 12 April 2009

Menyelamatkan Pendidikan Usia Dini

Pendidikan usia dini, belum sepenuhnya dapat ditangani oleh pemerintah, sehingga masih banyak anak prasekolah yang belum mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana diamanahkan oleh pasal 28 undang-undang pendidikan nasional no 20 tahun 2003.

Dari 8.259.200 orang anak pra sekolah usia 5-6 tahun, hanya baru dapat pendidikan sebanyak 22, 33% atau 1.845.983 orang. Rasio layanan lembaga pendidikan terhdap anak usia dini tergolong rendah, yaitu 1:86. Pada tahun 2006 dari 28 juta anak usia 0-6 tahun, sebanyak 73% atau sekitar 20,4 juta anak belum mendapatkan pendidikan usia dini. Sedangkan sisanya 27% atau sekitar 7,5 juta anak, mendapatkan pendidikan seperti membaca dan berhitung di bawah lembaga-lembaga nonformal seperti kelompok bermain dan tempat penitipan anak.

Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan usia dini belum sepenuh tertangani oleh pemerintah dan sangat memerlukan perhatian serius guna menyelamatkan masa depan bangsa ini.

Tidak dapat dipungkiri, lambatnya penangan pendidikan usia dini akan memperpanjang catatan buram kualitas pendidikan dan menghambat percepatan peningkatan daya saing kualitas manusia Indonesia. Saat sekarang, kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal dari Thailand, Malaysia dan Singapur. Bahkan menurut laporan World Competitiveness Year Book 2007 daya saing pendidikan Indonesia berada pada urutan ke 53 dari 55 negara yang diseurvei. Sedangkan daya saing sumber daya manusia jauh tertinggal. Hal ini dapat dilihat dari rating Human Development Index (HDI) Indonesia diperingkat dunia berada pada urutan 107 dari 177 negara. Di Asean Indonesia diurutan ke-7 dari sembilan negara-negara Asean.

Di samping itu, indeks kinerja Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia berada diurutan 138 dari 140 negara. Oleh sebab itu, wajar di Indonesia baru ada 0,18% pengusaha, sedangkan syarat sebuah negara maju kata Ciputra minimal ada 2% pengusaha dari jumlah penduduk. Singapura saat sekarang sudah mempunyai 5% dari jumlah penduduknya.

Keterlambatan penanganan pendidikan usia dini bersignifikan pula terhadap lambatnya pemberantasan buta aksara, sehingga melek huruf dan membaca di Indonesia sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Menurut laporan World Bank melek membaca anak Indonesia berada di bawah Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapur. Sedangkan menurut versi International Association for Evaluation of Educational Achievement (IAEEA), minat membaca anak-anak Indonesia setaraf dengan Selandia Baru dan Afrika Selatan.

Untuk keluar dari permasalahan ini, pendidikan harus dibenahi mulai dari usia dini. Pendidikan usia dini tidak dapat dibaikan. Pengabaian terhadap hal ini hanya akan memperparah keterburukan bangsa ini. Sehubungan dengan itu Giddens dalam The Third Way merekomendasikan, pendidikan yang berkualitas merupakan syarat mutlak untuk mencapai kemajuan di era global sekarang ini. Oleh sebab itu, saatnya pemerintah mewujudkan mesin-mesin cerdas pencetak pendidikan yang berkualitas.

Salah satu mesin cerdas itu diarahkan untuk membangun kualitas pendidikan usia dini. Satu hal yang paling mendesak dilakukan untuk memperbaiki pendidikan anak usia dini adalah melakukan pemerataan terhadap institusi sekolah. Masalahnya keterbatasan instititusi sekolah tersebut telah menjadi salah satu faktor tidak tertanganinya pendidikan anak usia dini. Menurut data balitbang pendidikan nasional 2007, sebanyak 77,66% atau 641.3217 dari 8.259.200 orang anak usia dini belum tersentuh oleh pendidikan, karena keterbatasan instititusi sekolah.

Di Indonesia baru pada tahun 2004, pendidikan anak usia dini mulai mendapat pelayanan yang luas, seperti melalui bina keluarga balita (9,6%), taman kanak-kanak (6,5%), raudhatul athfal (1,4%), kelompok bermain (0,13%), dan taman penitipan anak (0,05%), serta lainnya (9,9%). Pada tahun 2007, pelayanan tersebut tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan ditemukan banyak diantara mereka belajar di ruangan kelas yang tidak layak untuk pendidikan, misalnya dari 93.629 buah TK di Indonesia hanya 77.339 buah yang layak menjadi tempat belajar.

Walaupun demikian, pelayanan tersebut masih tergolong lambat dan masih belum mampu menanggulangi pendidikan usia dini secara merata. Masih banyak anak-anak usia dini yang tersia-siakan.

Mengagas penyelamatan bersama

Jika dilihat dari anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk pembinaan dan penanganan pendidikan usia dini dari tahun-ketahun dirasakan masih kecil dan masih belum mampu mempercepat melahirkan pendidikan usia dini yang menyentuh semua kalangan. Pada tahun 2006, pemerintah baru mampu menganggarkan sebesar Rp 17,1 miliar untuk dikelola pusat dan Rp 92,6 miliar untuk dikelola daerah. Jumlah dana ini masih kecil jika bandingkan dengan jumlah anak-anak usia dini yang ada di Indonesia. Pada tahun 2007, terjadi penggenjotan dana untuk mendorong mutu pendidikan usia dini, pemerintah telah mengucurkan dana sekitar US$127,8 juta. Dana ini hasil kerja sama pemerintahan Indonesia dengan Bank Dunia dan Pemerintah Belanda.

Namun, melihat banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pendidikan usia dini termasuk sarana dan prasarana maka jumlah anggaran keuangan yang dikucurkan tersebut belum sepenuhnya mampu mencerahkan pendidikan usia dini di negara yang berjumlah 224 juta jiwa ini.

Untuk menanggulangi masalah ini, perlu digagaskan penyelematan bersama dan tidak tertumpu pada anggaran yang diberikan pemerintah saja. Pemerintah harus mempunyai sistem yang cerdas dalam menggagas pendidikan yang berbasis partisipasi. Apalagi dalam era otonomi daerah sekarang ini, pemerintah mempunyai peluang yang luas dalam mengembangkan daerah bersama masyarakat. Peluang yang luas ini pula yang akan menyelamatkan pendidikan usia dini. Dalam konteks ini, masyarakat tidak hanya sebagai objek tetapi juga sebagai subjek dari pembangunan tersebut. Menurut Osborne dan Geabler salah satu tugas dari pemerintah adalah mewujudkan partisipasi masyarakat dalam mengatasi permasalahan tersebut dan tidak selalu menempatkan masyarakat di ranah objek.

Dalam konteks kondisi Indonesia seperti sekarang ini, jumlah orang miskin yang meningkat akibat kenaikan harga dan pemutusan hubungan kerja yang cukup tajam, maka yang terpenting dilakukan dalam menyelamatkan anak-anak mereka adalah membangun sekolah untuk semua.

Termasuk membangun sekolah usia dini yang ramah biaya yang dapat dijangkau oleh semua orang. Oleh sebab itu, filantropi-filantropi pendidikan harus berkembang dan sekolah-sekolah kapitalis yang berorientasi bisnis belaka sudah saatnya berhati nurani untuk menampung anak bangsa yang membutuhkan pendidikan

http://www.padangmedia.com/v2/index.php?mod=artikel&j=5&id=40

Membangun Militansi pada Anak Usia Dini

Sering kita merasa iri terhadap orang-orang yang berhasil, baik secara finansial, pendidikan maupun pengembangan diri. Atau ketika kita bicara tentang kemajuan negara Barat dengan segala teknologi dan media informasi yang mumpuni, sekaan diri kita telah kalah jauh oleh mereka. Terlebih ketika berbicara masalah sumber daya manusia. Ketika para ahli, ilmuwan, praktisi pendidikan, dan para profesional lainnya justru banyak berasal dari negara Barat, kita juga tidak bisa mengelak akan keberadaan mereka yang telah bayak berkontribusi.

Lalu ketika masalah tersebut menjadi bahan renungan, kemudian kita berpikir dan memiliki motivasi yang tinggi agar bisa seperti mereka, tak jarang berbagi cara ingin kita lakukan. Termasuk dengan cara banyak meng-eksplore wawasan dan pengetahuan, juga dengan cara medorong anak kita menjadi orang yang kaya akan pengetahuan dan memiliki militansi yang tinggi.

Beberapa ahli pendidikan anak menyatakan bahwa usia dini (0-7 atua 8 tahun) dinamakan dengan istilah the golden age of living, yang artinya masa keemasan dalam kehidupan. Seperti yang diungkapkan Maria Montessori, seorang dokter dan antropolog wanita Italia, bahwa perkembangan anak usia dini adalah suatu proses yang berkesinambungan melalui pendidikan sebagai aktivitas diri yang mengarah pada pembentukan disiplin, kemandirian, dan pengarahan diri. Dengan masa keemasan yang dimiliknya, maka setiap anak sangat potensial untuk diberi berbagai stimulus atas kemampuan yang dimilikinya. Karena dengan semakin banyaknya stimulus yang diberikan kepada anak maka perkembangan anak pun akan berlangsung dengan cepat. Maka pembinaan dan didikan orangtua terhadap anaknya akan sangat menentukan keberhasilan anak di masa yang akan datang. Jika sejak kecil anak dikenalkan pada kebiasaan hidup mandiri, maka kelak anak memiliki bekal kemandirian. Karena di dalam pendidikan ada konsep yang menyatakan bahwa bentuk perlakuan terhadap anak 4 tahun ke bawah sesuai dengan yang dilihatnya. Itulah yang akan melekat hingga dewasa. Begitupun dengan kedisiplinan, kebersihan maupun hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan anak. Dalam hal ini, tentu orangtualah yang memiliki peranan yang sangat penting. Sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya, Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan Allah (QS At-Tahriim : 6).

Berbicara tentang pendidikan anak usia dini sebagai penentu terhadap kepribadian anak di masa yang akan datang, dalam kaitannya dengan permasalahan umat, kiranya kita perlu memahami tugas-tugas da`wah yang diemban setiap umat. Karena bagaimanapun, proses pembekalan yang berlangsung dalam waktu yang lama dan konsisten akan terwujud sebuah kekuatan, baik fisik maupun mental.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia militansi diartikan ketangguhan di dalam berjuang menghadapi kesulitan, berjuang, dan sebagainya. Sedangkan orang yang bersemangat tinggi, penuh gairah, berhaluan keras disebut orang militan. Dalam tantangan zaman yang semakin tak terkendali, militansi merupakan modal dasar bagi kita. Militansi adalah keniscayaan. Karena dengan sikap yang tangguh, percaya diri, dan dibantu kekuatan fisik dan mental yang mumpuni akan sangat menentukan adanya nilai-nilai militan.

Salah satu ciri khas dalam menanamkan nilai pada anak adalah pemberian nuansa. Karena selain pemberian latihan secara konsisten, nuansa yang dibangun pun akan membantu anak dalam memahami apa yang dihadapinya. Sebagai contoh, ketika kita ingin anak kita menjadi seorang anak yang pandai matematika, tentu kita tidak sekadar meminta anak untuk mengisi soal penjumlahan, pengurangan, pembagian, atau perkalian; tapi juga kita harus membagun nuansa yang mengarah pada pengembangan kemampuan matematikanya. Atau untuk mengenalkan nilai uang, tanamkan kebiasaan pada anak kita untuk menabung. Bahkan ketika kita kita sedang bekerja di dapur sekali pun, kita bisa mengajak anak kita untuk menghitung potongan-potongan tempe yang hendak atau sudah digoreng. Demikian pula dengan penanaman nilai-nilai militansi. Kita bisa memberikan keteladanan pada mereka nilai-nilai kedisiplinan, seperti shalat di awal waktu, tidak bangun kesiangan, meninggalkan tempat tidur dalam keadaan rapi, dan sebagainya. Selain itu kita juga mengajak anak-anak kita untuk terbiasa bertanggung jawab. Misalnya, salah seorang anak kita diminta untuk menjaga adiknya atau membantu mengerjakan PR. Atau bisa juga dengan cara pemberian tugas piket rumah secara bergiliran. Dengan demikian, anak pun akan terbiasa menghadapi amanah dan terbiasa menjalani hidup secara terprogram/terjadwal. Berikut ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk menumbuhkan jiwa militansi pada putra-putrinya. Pertama, manfaatkan berbagai sarana yang ada di rumah sebagai sarana belajar anak. Mulai dari kamar, kamar mandi, perabot rumah tangga, dan benda-benda lain yang ada di rumah sebetulnya bisa dijadikan wahana dan sarana pembelajaran anak. Sehingga anak tidak hanya belajar melalui jalur formal yaitu sekolah, namun juga bisa belajar bersama orangtua. Kedua, menerapakan kebiasaan-kebiasaan postitif pada anak melalui contoh dan keteladanan. Dalam hal ini salah satu karakteristik yang dimiliki anak adalah meniru atau mengidentifikasi. Jadi kalau orangtua terbiasa mencuci piring sendiri tiap selesai makan, maka anak secara tidak langsug akan menirunya. Ketiga, ciptakan suasana kondusif di keluarga yang dapat mengarah pada penanaman nilai-nilai militansi. Misalnya, disela-sela pekerjaan, sang ayah bisa memanfaatkan waktu di rumah untuk membereskan rumah, menghias taman, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain yang bersifat produktif. Selain itu se-sibuk apapun orangtua, anak harus tetap bisa merasakan kebersamaan, apakah itu sedang mengerjakan tugas sekolah bagi yang sudah sekolah atau ketika menonton TV sekali pun. Dan keempat, berikan stimulus pada anak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan sesuai dengan minatnya. Misalnya, bagaiamna orangtua mengajak anaknya menyenangi kegiatan menghafal Al-Quran, gemar membaca buku, toleransi terhadap teman, dan lain sebagainya.

Bila nuansa-nuansa militan sudah dikenalkan pada anak sejak dini, maka anak akan terbiasa pada hal-hal positif. Sehingga jiwa militan akan terus terbentuk pada diri mereka dan akan dibawa terus hingga ia dewasa. Tentu saja dalam hal ini orangtua perlu memiliki komitmen dan konsistensi yang kuat. Maksudnya, mendidik atau membentuk anak agar berjiwa militan tidak mungkin hanya dilakukan dalam waktu-waktu tertentu. Namun dilakukan kapan saja dan di mana saja.

http://www.dpu-online.com/index.php?artikel/detail/5/27/artikel-27.html

Pendidikan Matematika pada Anak Usia Dini

Rendahnya mutu pendidikan masih disandang bangsa Indonesia. Hal ini dapat diminimalkan dengan mengoptimalkan pendidikan pada anak sejak dini, terutama pendidikan matematika. Mengingat image masyarakat terhadap matematika yang menganggap pelajaran yang menakutkan. Padahal, matematika dapat diberikan kepada anak sejak usia 0+ tahun.

Anak pada usia 0-6 tahun perlu mendapat perhatian khusus karena pada usia inilah kesiapan mental dan emosional anak mulai dibentuk. Penelitian terhadap Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menunjukkan bahwa mutu pendidikan dan keberhasilan akademis secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas masukan pendidikan yaitu kesiapan mental dan emosional anak memasuki sekolah dasar.

Anak mulai belajar dan beradaptasi dengan lingkungannya sejak bayi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan otak bayi dibentuk pada usia 0-6 tahun. Oleh sebab itu asupan nutrisi yang cukup juga harus diperhatikan. Para ahli neurologi meyakini sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia terjadi pada usia 4 tahun, 80% terjadi ketika usia 8 tahun, dan 100% ketika anak mencapai usia 8 - 18 tahun.

Itulah sebabnya, mengapa masa anak-anak dinamakan masa keemasan. Sebab, setelah masa perkembangan ini lewat, berapapun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu, tidak akan meningkat lagi.

Bagi yang memiliki anak, tentu tidak ingin melewatkan masa keemasan ini. Berdasarkan kajian neurologi dan psikologi perkembangan, kualitas anak usia dini disamping dipengaruhi oleh faktor bawaan juga dipengaruhi faktor kesehatan, gizi dan psikososial yang diperoleh dari lingkungannya. Maka faktor lingkungan harus direkayasa dengan mengupayakan semaksimal mungkin agar kekurangan yang dipengaruhi faktor bawaan tersebut bisa diperbaiki.

Dalam tahun-tahun pertama kehidupan, otak anak berkembang sangat pesat dan menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan yang memuat berbagai kemampuan dan potensi. Nutrisi bagi perkembangan anak merupakan benang merah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Setidaknya terdapat 6 aspek yang harus diperhatikan terkait dengan perkembangan anak antara lain: pertama, perkembangan fisik: hal ini terkait dengan perkembangan motorik dan fisik anak seperti berjalan dan kemampuan mengontrol pergerakan tubuh.

Kedua, perkembangan sensorik: berkaitan dengan kemampuan anak menggunakan panca indra dalam mengumpulkan informasi. Ketiga, perkembangan komunikasi dan bahasa: terkait dengan kemampuan menangkap rangsangan visual dan suara serta meresponnya, terutama berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan mengekspresikan pikiran dan perasaan. Keempat, perkembangan kognitif: berkaitan dengan bagaimana anak berpikir dan bertindak. Kelima, perkembangan emosional: berkaitan dengan kemampuan mengontrol perasaan dalam situasi dan kondisi tertentu. Keenam, perkembangan sosial: berkaitan dengan kemampuan memahami identitas pribadi, relasi dengan orang lain, dan status dalam lingkungan sosial.

Para orang tua juga dituntut untuk memahami fase-fase pertumbuhan anak. Fase pertama, mulai pada usia 0-1 tahun. Pada permulaan hidupnya, anak diusia ini merupakan suatu mahkluk yang tertutup dan egosentris. Ia mempunyai dunia sendiri yang berpusat pada dirinya sendiri. Dalam fase ini, anak mengalami pertumbuhan pada semua bagian tubuhnya. Ia mulai terlatih mengenal dunia sekitarnya dengan berbagai macam gerakan. Anak mulai dapat memegang dan menjangkau benda-benda disekitarnya. Ini berarti sudah mulai ada hubungan antara dirinya dan dunia luar yang terjadi pada pertengahan tahun pertama (± 6 bulan). Pada akhir fase ini terdapat dua hal yang penting yaitu: anak belajar berjalan dan mulai belajar berbicara.

Fase kedua, terjadi pada usia 2-4 tahun. Anak semakin tertarik kepada dunia luar terutama dengan berbagai macam permainan dan bahasa. Dunia sekitarnya dipandang dan diberi corak menurut keadaan dan sifat-sifat dirinya. Disinilah mulai timbul kesadaran akan "Akunya". Anak berubah menjadi pemberontak dan semua harus tunduk kepada keinginannya.

Fase ketiga, terjadi pada usia 5-8 tahun. Pada fase pertama dan kedua, anak masih bersifat sangat subjektif namun pada fase ketiga ini anak mulai dapat melihat sekelilingnya dengan lebih objektif. Semangat bermain berkembang menjadi semangat bekerja. Timbul kesadaran kerja dan rasa tanggung jawab terhadap kewajibannya. Rasa sosial juga mulai tumbuh. Ini berarti dalam hubungan sosialnya anak sudah dapat tunduk pada ketentuan-ketentuan disekitarnya. Mereka mengingini ketentuan-ketentuan yang logis dan konkrit. Pandangan dan keinginan akan realitas mulai timbul.

Pendidikan Matematika

Untuk pendidikan matematika dapat diberikan pada anak usia 0+ tahun sambil bermain, karena waktu bermain anak akan mendapat kesempatan bereksplorasi, bereksperimen dan dengan bebas mengekspresikan dirinya. Dengan bermain, tanpa sengaja anak akan memahami konsep-konsep matematika tertentu dan melihat adanya hubungan antara satu benda dan yang lainnya.

Anak juga sering menggunakan benda sebagai simbul yang akan membantunya dalam memahami konsep-konsep matematika yang lebih abstrak. Ketika bermain, anak lebih terstimulasi untuk kreatif dan gigih dalam mencari solusi jika dihadapkan atau menemukan masalah.

Pada pendidikan matematika dapat diberikan misalnya pada pengenalan bilangan, terlebih dahulu diperdengarkan angka dengan menyebutkan angka satu, dua, tiga dan seterusnya. Dan perlihatkan benda-benda berjumlah satu, dua, tiga dan seterusnya, bukan berarti materinya langsung mengenalkan lambang bilangan "dua" karena anak akan bingung. Dengan bertambahnya kecerdasan dan umur barulah diperkenalkan ke lambang bilangan.

Pengenalan geometri, anak diberikan berbagai macam bentuk bangun misalnya bola, kotak, persegi, lingkaran dan sebagainya. Dengan memerintahkan anak mengambil bangun yang disebutkan nama dan ciri-cirinya.

Pengenalan penjumlahan dan pengurangan, pakailah lima bola berdiameter sama yang dapat digenggam. Untuk pengurangan, sebanyak lima bola diambil satu, dua, ..., dan lima. Sebaliknya penjumlahan dengan menambahkan satu, dua, ..., sampai empat pada bola yang tergenggam. Mengingat ciri khas pada setiap jumlah bola yang sering dilihatnya, anak pun akan melihat kejanggalan ketika dikurangi atau ditambah. Peristiwa tersebut membuatnya semakin memahami hakikat "bertambah" dan "berkurang", yang ditandai perubahan jumlah bola yang digenggamnya. Apalagi pada peragaan bola yang diameter dan warnanya beragam, pemahamannya tidak lagi terikat dengan ukuran, tetapi pada jumlah bola yang tampak.

Pengenalan hubungan atau pengasosiasian antara benda, misalnya berikan kotak dan dilanjutkan dengan memperlihatkan benda yang berbentuk kotak lain seperti kotak susu, bungkus sabun dan sebagainya. Dibenak anak dapat menghubungkan antar kotak yang satu dengan yang lainnya. Sehingga pendidikan matematika dapat diberikan kepada anak usia dini dimulai dari pendidikan keluarga, yang dilakukan oleh orang tua sebagai guru terdekat sang anak.

Orang Tua "Guru" Kreatif

Peran penting yang dapat dilakukan orang tua yaitu sebagai: Pertama, pengamat. Orang tua mengamati apa yang dilakukan oleh anak sehingga dapat mengikuti proses yang berlangsung. Ketika dibutuhkan, orang tua dapat memberikan dukungan dengan mengacungkan jempol, mengangguk tanda setuju, menyatakan rasa sukanya, bahkan ikut bermain. Kedua, manajer. Orang tua memperkaya ide anak dengan ikut mempersiapkan peralatan sampat tempat bermain. Ketiga, teman bermain. Orang tua ikut bermain dengan kedudukan sejajar dengan anak. Keempat, pemimpin (play leader). Dalam hal ini orang tua berperan menjadi teman bermain, sekaligus memberikan pengayaan dengan memperkenalkan cara serta tema baru dalam bermain.

Pengaruh orang tua sebagai "guru" pada anak memiliki porsi terbesar dilingkungannya, sehingga orang tua dalam mendidik dapat beracuan: pertama, berorientasi pada anak (pupil centered). Dalam mengajar anak tidak dengan komunikasi satu arah dengan kata lain orang tua dinyatakan orang yang paling tahu dan paling pandai.

Kedua, dinamis. Dalam mendidik anak bawalah mereka sambil bermain dan orang tua dapat memancing anak untuk memunculkan ide kreatif dan inovatifnya. Ketiga, demokratis. Ini berarti, memberikan kesempatan pada anak untuk menuangkan pikirannya dan bersikap tidak sok kuasa.

Standar Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal

Sebagai upaya memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyusun draf Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nonformal. Standar ini mencakup seluruh pelayanan anak usia dini sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, khusus untuk layanan PAUD Nonformal lebih memprioritaskan anak usia 0-4 tahun.

Direktur PAUD Depdiknas Gutama mengemukakan, sejak lama pemerintah dituntut oleh masyarakat untuk menyusun standar yang jelas. Selama ini, kata dia, kurikulum PAUD Nonformal pun belum ada, yang ada adalah acuan resmi dari Depdiknas, tetapi belum ada khusus yang dibuat karena standar nasionalnya belum ada. "Standar ini akan menjadi acuan kita,bukan standar yang maksimal tapi yang minimal," katanya pada Uji Publik Draf Standar PAUD Nonformal di Graha Depdiknas, Jakarta, Senin (24/03/2008) .

Hadir dalam acara Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK) Baedhowi, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Ace Suryadi, Ketua BSNP Yunan Yusuf, dan para pengelola PAUD. Gutama mengatakan, standar ini disusun bukan untukmenghambat potensi PAUD di masyarakat yang sedang tumbuh dan berkembang, tetapi justru memberikan peluang agar mereka bisa tumbuh berkembang dan akhirnya mencapai standar minimal yang diharapkan. "Jangan sampai ada anak yang tidak mendapatkan sentuhan pendidikan sejak anak usia dini," ujarnya.

Anggani Sudono, Koordinator Penyusunan Standar PAUD Nonformal menyampaikan, tujuan diselenggarakan uji publik Standar PAUD Nonformal adalah untuk memperoleh masukan yang sebanyak-banyaknya agar standar ini sesuai dengan kehendak semua. "Sekaligus menjadi payung semua kegiatan anak usia dini yang dilakukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia," katanya.

Anggani mengatakan, anak usia dini apabila mendapatkan penanganan, pengasuhan, dan pendidikan sedini mungkin maka akan memberi dasar yang kuat untuk pendidikan selanjutnya. "Ini (PAUD) merupakan investasi dalam kehidupan selanjutnya. Standar PAUD akan diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia," katanya. Anggani menyebutkan, komponen standar pendidikan usia dini terdiri atas tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini; pendidik dan tenaga kependidikan PAUD; program, isi, proses, dan penilaian PAUD; infrastruktur pendukung, sarana, dan prasarana, serta pengelolaan dan pembiayaan.

Endang Ekowarni, Ketua Tim Ad hoc Penyusunan Standar PAUD mengatakan, pada komponen pertama standar yang disusun yakni bukan standar kelulusan, tetapi menggunakan istilah tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini dengan target setiap tahap harus dicapai anak dengan sehat, cerdas, dan ceria. "Jadi sehat dan cerdas menurut tahap perkembangannya, dan ceria juga sesuai dengan usianya. Pada akhirnya mereka akan siap untuk mengikuti pendidikan formal."

Pers Depdiknas

Peran Ayah dalam Pendidikan Anak Usia Dini

KabarIndonesia - Resolusi 47/237 Sidang Umum PBB pada tanggal 20 September 1993, memutuskan bahwa setiap tanggal 15 Mei tiap tahunnya akan diperingati sebagai Hari Keluarga Internasional. Setiap tahunnya, dipilih tema-tema yang menjadi fokus kampanye dan aksi pada tahun itu. Tema untuk tahun 2008 ini adalah ” Ayah dan Keluarga: Tanggung Jawab dan Tantangan”.

Sebuah tema yang unik dan benar-benar menantang, karena biasanya pembahasan tentang keluarga lebih menitikberatkan pada ibu dan anak . Menurut Eric Olson dari Divisi Kebijakan dan Pembangunan Sosial, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB, tema ini dipilih dengan penekanan pada peran ayah dalam keluarga dan pentingnya tanggung jawab dan tantangan yang menyertainya.

Ayah dan Keluarga

Saat ini, keluarga-keluarga di dunia sedang mengalami banyak perubahan, mulai perubahan dari kehidupan berkeluarga besar menjadi keluarga inti, meningkatnya jumlah wanita (termasuk ibu) dalam dunia kerja, meningkatnya angka cerai-kawin, meningkatnya jumlah kelahiran tanpa pernikahan, meningkatnya jumlah wanita sebagai orang tua tunggal dan kepala rumah tangga, serta jumlah ayah yang tinggal jauh dari keluarga. Fenomena-fenomena tersebut, menurunkan peran ayah dalam keluarga sebagai pendidik, kepala rumah tangga, dan pencari nafkah dalam keluarga.

Meningkatnya angka perceraian, membuat banyak wanita terpaksa mengambil peran ayah bagi anak-anaknya. Efek yang terjadi biasanya menyangkut lemahnya capaian kebutuhan finansial bagi keluarga, yang seringkali berpengaruh pada perkembangan anak bahkan tidak jarang berujung pada terlibatnya anak pada kriminalitas.

Sisi lain adalah meningkatnya jumlah ayah yang menjadi pekerja migran, seperti yang dialami para TKI kita di Taiwan, Malaysia atau Saudi Arabia. Tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi membuat para ayah terpaksa bekerja jauh dari keluarga dalam waktu lama. Selain efek terhadap perkembangan jiwa anak, tidak jarang fenomena ini membuat banyak masalah dalam keluarga.

Banyak diantara para ayah pekerja migran ini berperilaku seks bebas, sehingga ini juga meningkatkan risiko penularan HIV/AIDS. Hal ini menjadi hal yang juga dipikirkan oleh UNFPA (United Nations Population Fund) yang memilih tema “Ayah Pekerja” pada peringatan Hari Populasi Dunia tahun 2007 lalu, dengan mengkampanyekan tanggung jawab ayah selain bekerja bagi keluarga adalah antara lain mendukung istri hamil, merawat bayi-bayinya, mendidik anak termasuk anak perempuan dan berbagi untuk menjadi orang tua bagi anak-anaknya.

Tidak bisa dipungkiri begitu besar peran ayah dalam keluarga. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengembalikan peran ayah dalam keluarga ini, dengan berbagai kebijakan yang mendukung hal tersebut. Pendidikan berkeluarga bagi pasangan pra nikah, pendidikan bagi orang tua sebagai guru bagi anak-anaknya (parents as a teacher/PAT), bahkan usaha untuk menciptakan peluang kerja yang kondusif di dalam negeri adalah hal-hal yang harus diperhatikan oleh negara.

Ayah dan ASI

Salah satu hal sederhana yang sering terlupakan adalah penjagaan ayah terhadap istrinya yang berstatus sebagai ibu hamil (bumil) dan ibu menyusui (busui). Perawatan janin selama kehamilan bukan saja tanggung jawab istri, namun juga suami. Begitupun tanggung jawab untuk memberikan air susu ibu eksklusif (ASIX) bagi bayinya adalah juga tanggung jawab ayah. Mendapatkan ASIX adalah hak anak, dan dengan begitu besarnya manfaat ASIX, yang tidak bisa tergantikan oleh susu formula (sufor), maka penjagaan atas terpenuhinya kebutuhan tersebut menjadi penting.

Komitmen ayah dan ibu menjadi penting untuk dibuat. Termasuk momen yang justru sering terlewatkan adalah pemberian ASIX yang sarat kolostrum pada bayi yang baru lahir (newborn baby). Masih terdapat fenomena pemberian sufor oleh dokter/bidan/perawat kepada bayi baru lahir, padahal sang ibu mampu untuk memberikan ASI-nya. Ketidakpahaman dan kadang juga karena motivasi bisnis praktisi kesehatan, sering memaksa bayi baru lahir mengkonsumsi sufor, padahal bisa jadi sang orang tua bayi sudah memiliki rencana untuk memberikan ASIX pada buah hatinya.

Ketidakpahaman itu seringkali mendapatkan justifikasi ketika sang ibu memiliki masalah dengan belum keluarnya ASIX, padahal bayi baru lahir mampu menunggu disusui hingga lebih dari satu hari. Ketika sang ibu masih tergolek setelah melahirkan, disinilah peran ayah untuk menjaga agar bayinya mendapatkan hanya ASIX.

Pengaturan peredaran sufor via peraturan pemerintah seperti yang dilakukan oleh Pemda Sulawesi Selatan dan Klaten adalah hal yang baik, termasuk dalam hal ini menyiapkan fasilitas nursery ditempat umum atau di tempat kerja, adalah kebijakan yang harus didukung dan dikembangkan. Di Taiwan, setiap tempat umum terdapat fasilitas nursery room yang bagus. Termasuk dalam hal ini adalah kebijakan cuti bagi ibu menyusui.

Di Inggris, terdapat peraturan yang melarang penitipan bayi dibawah usia 9 bulan, dan pemberian cuti melahirkan bagi para wanita pekerja hingga 9 bulan. Swedia bahkan tidak hanya memberikan ibu, namun juga ayah pekerja yang memiliki bayi hingga 12 bulan dan masih memberikan 80 persen gaji. Singapura sejak zaman Lee Kwan Yew memberikan subsidi pada ibu-ibu hamil dan menyusui agar mendapatkan asupan yang cukup dan bergizi.

Bagi para orang tua Indonesia, seraya menunggu lahirnya kebijakan yang berpihak pada investasi pembangunan SDM sejak dini ini, adalah tanggung jawab ayah untuk mengalihkan alokasi dana untuk pembelian susu formula dengan memberikan asupan gizi yang cukup pada ibu menyusui, sehingga ASIX bisa diberikan pada bayi baru lahirnya.

Ayah dan Pendidikan

Setelah merawat bayinya, pada masa pertumbuhan sang anak, peran ayah untuk memberikan pendidikan secara berjenjang pada anak-anaknya adalah tanggung jawab yang mulia. Memberikan pendidikan agama dan budi pekerti, mengembangkan psikologi yang sehat bagi anak, pengembangan kognitif dan motorik anak usia dini, menyiapkan pendidikan dasar, menengah hingga tinggi harus disiapkan oleh ayah dengan sebaik-baiknya.

Tidak benar merasa cukup dengan menyekolahkan anak mulai TK hingga PT, dan melepaskan diri dari tanggung jawab pendidikan. Dari keluargalah anak dibentuk, digembleng dan diarahkan. Jika keluarga rusak, maka rusaklah anak, dan sebaliknya. Peran ayah sebagai kepala keluarga yang baik akan mengantarkan terbentuknya generasi penerus yang tidak saja kuat intelegensinya, namun juga terampil dan memiliki kemampuan afektif yang bagus. Selamat berjuang kepada para ayah untuk mewujudkannya.

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20080917211640

Hanya 5 perguruan tinggi yg raih akreditasi A

Bandung, Kompas - Kesiapan perguruan tinggi untuk membangun sistem penjaminan mutunya dinilai masih sangat minim. Dari 55 perguruan tinggi yang mengikuti akreditasi institusi tahap I, hanya lima di antaranya yang telah meraih nilai sangat baik atau A.

Kelima perguruan tinggi itu adalah Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Menurut Sekretaris Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Adil Basuki Ahza, Rabu (3/12), di Bandung, tidak ada kaitan perolehan nilai A ini dengan reputasi internasional yang kebetulan dimiliki kelima perguruan tinggi negeri (PTN) ini.
”Tidak berkaitan dengan status kelas dunia. Tapi, secara faktual, kita tidak bisa membohongi diri kalau kelima perguruan tinggi ini punya kualitas lebih,” ungkap Basuki Ahza.

Ia melihat, ketidaksanggupan perguruan tinggi lain meraih nilai A lebih karena faktor ketidaksiapan diri. Serta, belum membangun sistem penjaminan mutu yang memadai.

Belum berani dinilai

Tahun 2008 ini, bahkan masih banyak perguruan tinggi yang belum berani dinilai. Dari kuota 50 perguruan tinggi yang dinilai, hanya 30 di antaranya yang terisi. Dan, hanya 25 yang lolos untuk dilakukan site visit (visitasi asesor). Visitasi dilakukan Desember ini. Untuk itu, Badan Akreditasi Nasional (BAN PT) berancang- ancang menghentikan sementara proses akreditasi ini di tahun depan.

Padahal, ia mengatakan, setiap program studi maupun perguruan tinggi negeri wajib untuk mengikuti akreditasi. ”Mereka (perguruan tinggi) lupa bahwa perguruan tinggi bisa kena pidana jika tidak segera memiliki akreditasi. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, jika perguruan tinggi tidak terakreditasi, maka perguruan tinggi tersebut tidak boleh meluluskan mahasiswa,” ujarnya.

Menurutnya, ketentuan ini akan efektif berlaku selambat- lambatnya tahun 2012 mendatang.

Di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pendidikan, ucapnya, bahkan disebutkan, hanya perguruan tinggi berakreditasi minimal B yang bisa meluluskan mahasiswa.

”Lulusan bisa menuntut penyelenggara program studi, dekan, atau rektor apabila klaim tentang akreditasi tidak betul dan mereka tidak bisa lulus,” kata Basuki Ahza.

Meski demikian, perguruan tinggi diperbolehkan mengajukan ulang penilaian setelah dua tahun pengajuan pertama, asalkan ada jaminan perbaikan.

Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof Sunaryo Kartadinata mengakui, hasil akreditasi institusi sangatlah bergantung faktor kesiapan tiap perguruan tinggi. Namun, ia melihat, akreditasi institusi ini tidak lebih penting daripada akreditasi yang ada di tiap-tiap program studi. Sebab, ujung tombak akademik justru ada di program studi.

UPI saat ini memperoleh akreditasi B meski kampus ini sekarang memiliki aset gedung mewah bernilai sekitar Rp 500 miliar. (jon)

Pendidikan Tinggi Berguna untuk Transisi Masyarakat

Politik bukan pilihan tepat untuk menghadapi transisi masyarakat yang terjadi. Tetapi justru pendidikan tinggi-lah yang dibutuhkan. Pernyataan ini disampaikan Menteri Pendidikan Tinggi dan Riset Sudan Fathi Mohammed El-Khalifa saat berkunjung ke Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Senin (25/8). Sebab, transisi perlu banyak ahli dan inovasi yang hanya bisa diwujudkan melalui pendidikan tinggi. Mereka mampu mengupayakan teknologi baru bagi masyarakat. Selain itu, sumbangan ide dari ahli dan para pemikir juga dibutuhkan.

Prof Fathi menuturkan, beberapa tempat di Sudan masih dilanda perang saudara saat ini. Masyarakatnya sendiri sedang mengalami transisi, beralih dari kehidupan tradisional ke masyarakat dinamis modern. “Kami memerlukan pendidikan tinggi yang baik dalam masyarakat seperti itu,” ujarnya.

Tak heran bila pemerintah Sudan memberi perhatian besar pada bidang pendidikan tinggi. Maka, kunjungan ke Indonesia ini lebih ditujukan untuk melihat dan membandingkan sistem serta program pendidikan tinggi.

Pemerintah Sudan sendiri sedang giat berinvestasi untuk pendidikan tinggi. Tercatat, ada 28 universitas negeri, enam universitas swasta, dan 53 college swasta. Reformasi pendidikan tinggi juga ditempuhnya. Asal tahu saja, setelah Mesir, Sudan merupakan negara Afrika-Arab yang memiliki sejarah pendidikan tinggi yang tua.

“Tujuan reformasi pendidikan adalah agar bisa memenuhi kebutuhan transisi masyarakat. Tentu saja, perlu pembanding dari negara-negara sahabat,” terang Prof Fathi.
Kini, pemerintah Sudan memberi dukungan penuh dalam bentuk pembiayaan pendidikan. Agar bantuan pembiayaan bagi pendidikan bisa setara dua persen produk domestik bruto (PDB) negara.
Dalam kunjungan itu, El-Khalifa mengundang para pakar ITS untuk meneliti di Sudan. Rektor ITS Priyo Suprobo menyambut positif hal itu. “Kami siap bekerjasama dengan perguruan tinggi di Sudan. Mungkin, bisa untuk program pertukaran dosen dan mahasiswa,” jelas Priyo.

Saat ini di ITS ada lima mahasiswa Sudan. Mereka menyelesaikan pendidikan strata dua pada berbagai program studi di ITS. Kehadiran mereka di ITS ini didampingi Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti Depdiknas Prof Muklas Samani. Menurut Prof Muklas, twining program bagi mahasiswa Sudan untuk belajar di ITS juga patut dilakukan.

Pendidikan Tinggi Berbasis E-Learning

Proses belajar-mengajar melalui e-learning dilakukan dengan menggunakan berbagai fasilitas teknologi informasi, seperti komputer baik hardware maupun software, teknologi jaringan seperti local area network dan wide area network, serta teknologi telekomunikasi seperti radio, telepon, dan satelit. Tujuannya antara lain meningkatkan daya scrap mahasiswa atas materi yang diajarkan, meningkatkan partisipasi aktif dari mahasiswa, meningkatkan kemampuan belajar mandiri mahasiswa, dan meningkatkan kualitas materi pembelajaran.

Langkah itu diharapkan dapat merangsang pertumbuhan inovasi baru para mahasiswa sesuai dengan bidang masing-masing. Salah satu bagian dari kegiatan e-learning yang menggunakan fasilitas internet adalah distance learning yang merupakan suatu proses pembelajaran dengan dosen dan mahasiswa tidak ada dalam satu ruangan kelas secara langsung pada waktu tertentu. Artinya, kegiatan proses belajar-mengajar dilakukan dari jarak jauh atau tidak dalam satu ruangan kelas. Hal itu memungkinkan terjadinya pembelajaran yang berkesinambungan. Mahasiswa bisa belajar setiap saat, baik siang maupun malam hari, tanpa dibatasi waktu pertemuan. Berbagai peluang tersebut di atas masih menghadapi berbagai tantangan baik dari kesiapan infrastruktur teknologi informasi, masyarakat, dan peraturan yang mendukung kelangsungan e-learning. Beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan adalah cara penyampaian materi, teknologi, efektivitas dan komponen utama dari e-learning.

Penyampaian materi e-learning dapat melalui synchronous atau asynchronous. Synchronous berarti dosen dan mahasiswa berinteraksi secara waktu nyata (real time), beberapa peralatan yang menggunakan cara itu harganya relatif mahal. Misalnya dengan two-way videoconferences, audioconferencing, internet chat, dan desktop video conferencing. Penyampaian materi dengan asynchronous tidak secara bersamaan. Dosen menyampaikan instruksi melalui video atau komputer, kemudian mahasiswa merespons pada lain waktu. Misalnya, instruksi disampaikan melalui web atau dan feedback disampaikan melalui e-mail.

http://www.ristek.go.id

Pembiayaan Pendidikan Tinggi

Hingga kini pemerintah baru mengalokasikan 9-10 persen APBN, dari ketentuan konstitusi 20 persen, untuk pendanaan pendidikan, di luar gaji guru/dosen.

Namun, distribusi dana yang telah dianggarkan bagi pendidikan (dasar-menengah-tinggi) itu harus ditelusuri agar jelas secara publik.

Di tengah rusaknya ribuan ruang kelas SD-SMP dan peningkatan angka buta huruf (Kompas, 13-14/8/2007), distribusi alokasi dana bagi pembiayaan pendidikan tinggi (PT) penting didiskusikan. Seberapa perlu anggaran untuk PT? Adakah proyeksi pemerintah bagi pengembangan PT?

Partisipasi

Sejak merdeka, negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami kenaikan partisipasi PT penduduk usia 17-24 tahun. Penyebabnya adalah lulusan sekolah menengah meningkat, terbuka peluang bagi wanita, meluasnya sektor swasta. Namun, selama dekade terakhir di sebagian Asia, kenaikan angka partisipasi terhambat krisis ekonomi.

Mengutip Psacharopoulos (1991), angka partisipasi PT rata-rata 7,4 persen di negara berkembang (1987), meningkat dari 2,1 persen (1960). Angka itu lebih kecil dibandingkan dengan negara maju, 34,1 persen (1987), meningkat dari 13,5 persen (1960).

Di Asia angka partisipasinya 7,3 persen (1987), berbanding 2,6 persen (1960), lebih tinggi daripada Afrika 4,3 persen (1987) dan 0,7 persen (1960).

Tahun 2002 angka partisipasi 10 persen untuk negara berkembang di Asia dan kurang dari 10 persen di Afrika, jauh di bawah negara maju yang hampir 50 persen (Mohamedbhai, 2002).

Keterbatasan dana

Meski partisipasi penduduk meningkat, negara berkembang pascakolonial menghadapi dilema pembiayaan PT karena secara bersamaan harus meluaskan akses pendidikan dasar dan menengah. Selvaratnam (1988) mengatakan, keterbatasan dana(!) menjadi masalah utama negara berkembang memperluas akses PT bagi rakyatnya.

Dalam situasi demikian, lembaga donor mendesakkan skema pinjaman bersyarat. Pertama, pendidikan dasar dijadikan prioritas alokasi dana pinjaman. Kedua, subsidi PT dicabut.

Menurut Psacharopoulos, privatisasi PT meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketidakadilan karena kenyataannya subsidi PT lebih banyak dinikmati orang kaya. Tetapi menurut Mohamedbhai, pencabutan subsidi dan privatisasi PT di negara berkembang menurunkan partisipasi masyarakat karena tingginya biaya kuliah.

Jika partisipasi warganya berkurang, peluang negara berkembang mengatasi ketertinggalan ilmu dan teknologi dari negara maju kian kecil dan kesenjangan membesar. Masih menurut Mohamedbhai, ketertinggalan dapat diatasi jika partisipasi itu minimum 20 persen.

Singkatnya, negara berkembang menghadapi dilema antara memprioritaskan pembiayaan pendidikan dasar-menengah atau meluaskan akses PT. Pertanyaannya, benarkah dilema disebabkan keterbatasan dana?

Proyeksi pengembangan

Di negeri sekaya Indonesia, dana melimpah ruah dari sumber alam. Namun, seperti dinyatakan berbagai pihak (Kompas, 15-16/ 8/2007), lemahnya visi dan komitmen pemerintah menghalangi proyeksi pengembangan pendidikan secara integral.

Seberapa jauh pembiayaan PT diproyeksikan sebagai “lokomotif ekonomi”, belum jelas terjabarkan dalam cetak biru strategi pendidikan. Selain itu, visi pembangunan ekonomi yang diterjemahkan dalam pengembangan PT masih samar-samar.

Mengingat anggaran negara, pemerintah seharusnya memiliki proyeksi pemberdayaan PT secara nasional. Diperlukan orientasi besar agar sumber daya kolektif yang dituju dan dihasilkan PT efektif memajukan perekonomian dan sektor publik.

Secara khusus, keterlibatan Kementerian Negara Riset dan Teknologi dalam pengembangan dan pembiayaan PT bersama Direktorat Pendidikan Tinggi amat diperlukan. Selain memperkuat visi pengembangan PT, sinergi ini mengurangi beban pendanaan sehingga anggaran Departemen Pendidikan Nasional dapat dialokasikan untuk pendidikan dasar-menengah.

Kerusakan infrastruktur dan pembiayaan SD-SMP harus menjadi prioritas anggaran pemerintah. Meski demikian, subsidi PT tidak boleh ditangguhkan kalau kita tidak ingin semakin tertinggal dari negara lain.

Belajar dari kasus Kabupaten Jembrana (Kompas, 16/8/2007), pemerintah harus menutup keterbatasan dana dengan kekuatan visi, komitmen, dan strategi kebijakan anggaran yang cerdas.

http://agussuwignyo.blogsome.com/2007/08/30/pembiayaan-pendidikan-tinggi/

Esensi Pendidikan Tinggi

BARU - baru ini harian The Times Inggris menampilkan hasil survei peringkat perguruan tinggi (PT) terkemuka (520 universitas), dan menempatkan Undip Semarang sebagai peringkat 495 dari sekitar 11.000 PT yang disurvei. Sementara tiga besar dunia diduduki Harvard University (AS), University of Cambridge (Inggris) dan University of Oxford (Inggris). Tiga perguruan tinggi lain di Indonesia yang masuk dalam 500 besar adalah UI (ke-250), ITB (ke-258) dan UGM (ke-270).

Apa artinya ? Tidak satu pun perguruan tinggi kita masuk dalam 10 besar universitas terbaik dunia, bahkan 100 besar pun tidak. Padahal yang dinilai sangat mendasar dan bisa dicapai oleh PT yang normal mana pun.

Ada empat hal yang dinilai THES (Times Higher Education Survey) yaitu terserapnya alumni di bursa kerja, kualitas pembelajaran, persentase mahasiswa dan dosen, serta kualitas riset.

Dari keempat kriteria itu ternyata ada satu kriteria yang harus menjadi goal (tujuan) setiap perguruan tinggi yaitu terserapnya lulusan di bursa kerja. Sedangkan tiga kriteria lainnya merupakan variabel independen yang mempengaruhi kriteria pertama.

Berdasarkan hasil analisis penulis dari keempat kriteria tersebut adalah : Pertama, terserapnya lulusan PT di bursa kerja.

Perguruan tinggi harus dan mesti menghasilkan lulusan yang kompeten di dunia kerja. Kebutuhan tenaga kerja di lapangan harus dapat diidentifikasi perguruan tinggi. Perguruan tinggi tidak boleh hanya menyelenggarakan pembelajaran yang asal-asalan, sekadar memenuhi kewajiban proses pendidikan, tanpa tahu apa yang perlu diajarkan pada mahasiswanya.

Perguruan tinggi harus mengetahui makanan apa yang harus diberikan pada mahasiswa agar lulusannya nanti sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Harus dapat membekali mahasiswa untuk dapat mengembangkan diri setelah terjun dalam dunia kerja. Karena dunia kerja sangat dinamis, sedangkan lulusan yang mampu beradaptasi dengan dinamika alam itulah yang akan tetap survive.

Bagaimana caranya ? Menu makanan pendidikan terhadap mahasiswa namanya kurikulum dan silabus. Kurikulum dan silabus ini tidak bisa dibuat oleh seorang pimpinan akademik sekalipun. Harus dihasilkan melalui workshop kurikulum dan silabus dan narasumbernya melibatkan praktisi sebagai user alumni .

Kurikulum dan silabus yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja merupakan menu wajib yang harus diberikan. Rincian dari silabus tersebut bernama SAP (satuan acara pembelajaran) yang sifatnya pelengkap. SAP ini bertujuan agar dalam implementasi kurikulum dan silabus tidak menyimpang dari tujuan setiap mata kuliahnya.

Ini memiliki kelemahan sebab dina-mika keilmuan terus berkembang dan jangan sampai terpatri pada SAP.

Kurikulum dan silabus ini harus dievaluasi terus - menerus, khususnya dalam hal materi kurikulum suatu program studi, sesuai dengan perkembangan zaman. Mengubah kurikulum kalau tidak sangat mendesak hendaknya dihindari, karena akan mengganggu sistematika program studi. Perubahan yang dapat dilakukan adalah pada tatanan silabus dan konversi nama mata kuliah. Perubahan ini tidak akan mengganggu sistematika program studi.

Konstitusi

Kalau kita lihat kondisi bursa kerja di Indonesia, para lulusan perguruan tinggi dirugikan. Masalahnya adalah jumlah lulusan lebih besar dari jumlah lapangan kerja. Untuk menyikapinya mestinya pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lapangan kerja dan harus bisa.

Ketersediaan lapangan kerja ini menjadi amanah dalam konstitusi yaitu setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (UUD Pasal 27).

Kita tentu sangat sedih ketika kinerja pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran sangat rendah bahkan kemiskinan tambah menggunung.

Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang dapat menyerap tenaga kerja. Caranya banyak, salah satunya menggalakkan investasi melalui kemudahan berinvestasi di Indonesia, antara lain dengan pembuatan perda di daerah untuk tidak mempersulit investasi.

Contoh, Pemerintah mengeluarkan kebijakan memberikan kredit lunak bagi pengusaha yang bergerak dalam investasi padat karya (padat tenaga kerja) bukan padat modal (padat mesin pengganti tenaga kerja). Bank BRI adalah Badan Usaha Milik Negara dan keberadaannya sampai pada pelosok desa, bisa dimanfaatkan untuk itu.

Kedua, kualitas pembelajaran dimulai dari dosennya. Untuk memberikan pembelajaran pada level S-1 maka sebaiknya kualifikasi dosen pengajarnya minimal sudah Magister (S-2). Untuk memberikan pembelajaran pada level magister dan doktor sebaiknya diajar oleh dosen yang kualifikasinya bergelar doktor atau profesor.

Setelah kualifikasi dosen dipenuhi, maka proses pembelajaran yang berkualitas diciptakan. Ketua program studi harus menjadi lokomotif terdepan untuk proses pembelajaran yang baik.

Ketua program studi harus membuat kontrak pembelajaran dengan para dosen, di antaranya kesesuaian pembelajaran dengan silabus mata kuliah, kedalaman materi pembelajaran, jumlah tatap muka , penggunaan alat-alat pembelajaran bila diperlukan dan mengevaluasi kualitas pembelajaran para dosen.

Tiga, persentase dosen dengan mahasiswa. Kriteria ini bermaksud pada kondisi yang mendukung berhasilnya suatu pembelajaran. Kalau kita sering melihat perguruan tinggi melakukan proses pembelajaran terhadap mahasiswa berjumlah ratusan dalam satu kelas, tentu efektivitasnya dipertanyakan.

Dikti Depdiknas memberi standar untuk ratio dosen dan mahasiswa yang baik 1 : 25 untuk fakultas sosial, sedangkan fakultas eksakta 1 :20. Hal ini berarti proses pembelajaran pada mahasiswa harus efektif. Empat, kualitas riset universitas. Sering kita melihat riset yang dilakukan perguruan tinggi muluk-muluk, referensi yang digunakan jurnal asing yang sama sekali tidak dibutuhkan dalam pembangunan jangka pendek di Indonesia khususnya universitas. Dalam konteks keilmuan, masih relevan. Mestinya penelitian perguruan tinggi meneliti kebutuhan kebutuhan keilmuan mendasar mahasiswa, kebutuhan mendasar perguruan tinggi, baru meneliti untuk kebutuhan lingkungan luas.

Hasil-hasil riset keilmuan yang banyak dibutuhkan mahasiswa dan dunia kerja harus disosialisasikan di perpustakaan universitas bukan di ruangan lemlit. Riset bukan untuk riset tetapi untuk kemaslahatan ummat. Dari situlah keilmuan mahasiswa berkembang termasuk hasil-hasil riset dari luar sekalipun.

Dalam era informasi seperti sekarang ini masih banyak mahasiswa yang gagap teknologi. Internet sebagai sarana untuk mengakses ilmu pengetahuan harusnya menjadi bekal dalam memasuki dinamika keilmuan.

Keempat kriteria perguruan tinggi yang berkualitas diatas, bukan kriteria yang diawang-awang. Perguruan tinggi di Indonesia pun sangat dapat menerapkannya.

Kalau rangking terbaik perguruan tinggi kita peringkat 250, bagaimana dapat menjadi rujukan masyarakat dunia. Lulusan perguruan tinggi harus menjadi khairah ummah, yaitu umat yang ditunggu-tunggu dunia kerja dan masyarakat luas. Karena sesungguhnya, sebaik-baik ummat itu adalah yang paling bermanfaat bagi lingkungannya. (al-Hadist).

http://www.suaramerdeka.com/harian/0611/27/opi03.htm

Eksistensi Pendidikan Non Formal Dilematis

Minim political will dan Dukungan Pemerintah

Eksistensi dunia pendidikan non formal (PNF) belakangan waktu dilematis. Pasalnya, lembaga pendidikan ini acap kali dikonotasikan sebagai wadah pendidikan para remaja putusan sekolah formal. Lain halnya dengan minimnya political will dan dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam pembinaannya, mengakibatkan kondisinya yang mampu menciptakan life skill para keluarannya masih sering tidak dapat ditampung di berbagai perusahaan.

Demikian dikatakan MK Baginta Sembiring, ketua Himpunan Seluruh Pendidik dan Penguji Indonesia-Pendidikan Non formal (HISPPI-PNF) Sumut, Minggu (25/11), seusai acara pelantikan kepengurusan HIPPSI-PNF Labuhanbatu, di Gedung PKK Labuhanbatu di Rantauprapat.

Kata Sembiring, political will dari pihak eksekutif dan legislatif dinilai masih belum optimal dalam memberi perhatian pengembangan lembaga itu. Padahal, dihadapkan pada kompleksnya situasi pendidikan belakangan waktu, sebenarnya, lembaga pendidikan non formal yang kini banyak muncul dapat dijadikan sebagai alternatif solusi permasalahan di dunia pendidikan. Hal itu didasari, lembaga PNF memiliki sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah. serta, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan, terlebih lagi fleksibelitas waktu yang dibutuhkan, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai.

Padahal, ujarnya persentase lulusan pendidikan formal yang ada masih banyak yang tidak sanggup melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sementara era globalisasi terus membutuhkan peningkatan kualitas generasi yang trampil dan siap pakai. “Berbagai tempat yang menerima lowongan pekerjaan sekarang memiliki standart dalam menerima calon pekerja yang trampil dan berwawasan luas. Sedangkan, di Sumut tidak sedikit jumlah keluaran pendidikan formal terpaksa kandas melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, disebabkan beberpa faktor, salah satunya masalah pendanaan,” terangnya. Pemerintah, lanjutnya, masih separuh hati dalam membina lembaga PNF yang merupakan jalur alternatif penyedia tenaga kerja yang trampil, termasuk dalam memberi kemudahan pengurusan ijin pendirian lembaga PNF. “Mental birokrasi masih perlu dikritisi dalam hal memberi perhatian yang lebih serius,” paparnya.

Memang, akunya, standart kurikulum PNF masih perlu terus ditingkatkan, terlebih lagi dalam hal standart tenaga pendidik dan lembaga PNF yang sejatinya mampu menelurkan tenaga-tenaga terampil. “Tahun 2008, pihak Badan Standart Nasional Pendidikan Non formal (BSN-PNF) di Jakarta akan mengeluarkan dan terus mengkaji ataupun menganalisa muatan kurikulum PNF yang ideal untuk penerapan dan pedomannya di berbagai lembaga PNF yang ada. Dilain hal, bagi lembaga dan tenaga PNF, juga pihak Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) juga akan mengeluarkan standart mutu sebagai ukuran pendirian lembaga PNF se-Indonesia,” bebernya.

PNF yang di bawah koordinasi dengan pihak Diklusemas dan dinas tenaga kerja masing-masing daerah, sejatinya kedepan dapat lebih sinergis dalam menyediakana tenaga-tenaga yang terampil dan menyalurkannya ke berbagai institusi pencari kerja.

Pada kesempatan itu, dilantik kepengurusan HIPPSI-PNF Labuhanbatu, sebagai ketua Amin Prasetyo, sekretaris Razid Yuliwan. Serta, pada kesempatan yang sama, dilantik pula kepengurusan Dewan pengurus cabang Himpunan Penyelenggara Pelatihan dan Kursus Indonesia (DPC HPPKI) Labuhanbatu, sebagai ketua Tatang Hidayat Pohan, sekretaris Hasymi Prihatin Siregar di lengkapi dengan beberapa biro.

Hadirnya Lembaga Pendidikan Non Formal, suatu upaya membuka ruang kesadaran baru

Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguh tampil sebagai suatu realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai.

Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.

Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.

Dihadapkan pada kompleksnya situasi seperti yang dijabarkan diatas, kini banyak lembaga pendidikan non formal berupaya menempatkan diri sebagai alternatif solusi permasalahan diatas. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan.

Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.

Fleksibilitas waktu

Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.

Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.

Antonius Sumarno selaku Branch Manager English Language Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan.

Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.

Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.

Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan". (CY1)

Diknas akan Integrasikan Program Non Formal ke Pendidikan Formal

Depdiknas akan mengintegrasikan beberapa program yang diajarkan melalui pendidikan non-formal dengan program pendidikan formal sehingga diharapkan peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya juga memiliki bekal kecakapan hidup.

"Pendidikan non formal banyak mengajarkan program kecakapan hidup (life skill) sehingga selayaknya dapat ditransfer dalam program pendidikan formal," kata Mendiknas Bambang Sudibyo ketika membuka Rakernas Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin.

Untuk itu, pemerintah saat ini tengah menggodok peraturan pemerintah yang memungkinkan dua program pendidikan yang berbeda tersebut dapat dipadukan.

Ia mengatakan, pemerintah akan memberikan penyelesaian dan mekanisme bagaimana melakukan transfer, namun demikian lembaga kursus yang dapat melakukan transfer ke pendidikan formal tentu harus melalui proses modifikasi dan terakreditasi.

Mengenai lembaga yang bakal ditunjuk melaksanakan akreditasi, Mendiknas menyatakan, lembaga tersebut sebenarnya sudah tersedia.

Beberapa lembaga yang berada dalam binaan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas, yang selama ini sudah mengembangkan program kecakapan hidup, bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi, katanya.

"Kalau yang diasuh oleh lembaga-lembaga itu saya tahu, itu sudah siap dan langsung bisa diberikan akreditasi. Tapi kalau yang diselenggarakan oleh masyarakat saya kan harus melihat dulu," katanya.

Ia juga mengatakan, jika pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan non formal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi.

Menurut dia, pemerintah akan mendorong lembaga formal seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang memungkinkan anak didiknya mendapat bekal kecakapan hidup atau life skill. Hal ini sangat mungkin mengingat saat ini banyak disuplai oleh pendidikan non-formal.

Pendidikan nonformal seperti lembaga kursus, kata Bambang, punya keunggulan dibandingkan dengan pendidikan formal sebab lembaga kursus membuka program untuk memenuhi kencenderungan kebutuhan masyarakat.

Ia mengatakan, lembaga kursus berbeda dengan pendidikan formal. "Pemerintah membangun sekolah dimana-mana, biasanya tanpa banyak memperhitungkan kebutuhan masyarakat, semata-mata karena program pemerintah, maka dibangun saja. Sebaliknya, lembaga pendidikan non-formal dibangun dengan memperhitungkan kebutuhan masyarakat," katanya.

Pendidikan non-formal, memang tidak terlalu terstruktur dan dapat diselenggarakan lebih mengakomodasi kepentingan individual, sementara pendidikan formal prosesnya cenderung massal sehingga seringkali tidak memperhitungkan apakah programnya dibutuhkan masyarakat atau tidak, katanya.

Lebih lanjut Mendiknas mengatakan, tuntutan dunia pendidikan nasional ke depan akan mengutamakan lulusan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) yang memiliki kemampuan memasuki bursa kerja semakin tinggi.

Oleh sebab itu Mendiknas, Bambang Sudibyo merencanakan agar pada sistem pembelajaran sekolah menengah umum tersebut juga diberikan pelajaran kecakapan hidup untuk menunjang kesiapan lulusan sekolah itu untuk memasuki dunia kerja.

"Diharapkan dengan adanya program ini maka angka partisipasi kasar sekolah bisa ditingkatkan," katanya.

Data Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) menyebutkan saat ini terdapat 2.500 lebih lembaga kursus di Indonesia, dan terdapat 131 jenis kursus yang diselenggarakan oleh PLSP.

Mengenai bentuk kurikulum pendidikan yang akan disusun dengan masuknya program pendidikan non formal ke dalam pendidikan formal, Mendiknas mengatakan pemerintah akan menerapkan kurikulum yang longgar sekali, kemudian sesuai dengan UU Sisdiknas.

"kurikulum efektif itu (yang memasukkan pendidikan non formal-red) akan diramu oleh masing-masing sekolah di bawah koordinasi dinas pendidikan daerah. Jadi nantinya terserah masing-masing sekolah, bagaimana meramu kurikulumnya.

http://www.gatra.com/2004-12-20/artikel.php?id=50823

Mendiknas: Kembangkan Pendidikan Multikulturalisme

Menteri Pendidikan Nasional Malik Fajar mengatakan, pendidikan multikulturalisme perlu ditumbuhkembangkan, karena potensi yang dimiliki Indonesia secara kultural, tradisi, adat, dan lingkungan geografi serta demografis sangat luar biasa.

"Sehubungan dengan hal itu, kita perlu mengantisipasi keseragaman dalam pendidikan, dalam arti kita perlu menumbuhkembangkan potensi etnis masing-masing, misalnya etnis Sumatera dan Jawa perlu menumbuhkembangkan potensi etnis masing-masing," katanya, ketika membuka `Sosialisasi Pendidikan Non Formal`, di kampus Universitas Negeri Yogyakarta, Rabu.

Ia memberi contoh, anak Kabupaten Gunungkidul (D.I.Yogyakarta) tidak harus disamakan dengan anak pesisir.

Untuk itu, menurut menteri, perlu dikenalkan mengenai wawasan multikulturalisme, dibarengi dengan penguasaan pengetahuan.

"Untuk itu pula, perlu terus diperbaharui teori di perguruan tinggi, yang merupakan pusat pertumbuhan dan perkembangan serta pengetahuan, guna memberdayakan masyarakat," sambungnya.

Mendiknas menambahkan, selain multikulturalisme, spiritualisasi keagamaan juga kaya, sebagai kekuatan kreatif, inovatif, sublimatif dan integratif.

Malik Fajar menyebut bahwa pranata keagamaan bisa dimanfaatkan untuk gerakan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan, baik formal maupun non formal.

Maka, dalam hal ini harkat dan martabat manusia Indonesia mesti dibentuk, dan ini merupakan tantangan bangsa ke depan untuk membangun harkat dan martabatnya.

Ia mengakui, ada kekuatan yang sering tidak terangkat dan tertangani dalam pendidikan di Indonesia. "Karena itu, perguruan tinggi perlu menyatukan diri dengan seluruh aspek kehidupan masyarakart," ujarnya.

Kata menteri, perguruan tinggi perlu aktif terjun ke masyarakat.

Disamping itu, perguruan tinggi juga harus melakukan pendekatan yang luwes dan luas. "Dan setiap kebijakan perubahan, menjadi pijakan ke depan untuk memperhatikan harkat kemanusiaan yang sejati, sehingga menjadi bangsa yang yakin dan memiliki kepastian," tandasnya.

Kegiatan Sosialisasi Pendidikan Non Formal yang diikuti para akademisi, pakar pendidikan serta praktisi pendidikan se Propinsi D.I.Yogyakarta itu, dilanjutkan dengan seminar yang berlangsung Kamis (12/8) di Yogyakarta.

http://www.gatra.com/2004-08-11/artikel.php?id=43305

Guru Non Formal "Ditirikan"

Jakarta : RPP Guru Non Formal Mendesak Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Yang Masih Jadi Anak Tiri. GURU non formal nasibnya bak anak tiri dalam khasanah pendidikan nasional. Padahal, pendidik ini amat berjasa dalam membantu pemerintah menyukseskan pendidikan nasional. Khususnya, bagi kalangan yang memiliki berbagai kendala dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah formal.

Tanpa memiliki pengabdian yang berupa panggilan jiwa untuk ikut sera mencerdaskan kehidupan anak bangsa ini, khususnya kalangan bawah ini pendidik non formal yang jamak disebut tutor ini akan sulit untuk bertahan.

Bayangkan hanya dengan honor Rp108.000 per bulan, seperti yang.diterima oleh Ayu, tutor bahasa Indonesia di Kabupaten Ende ini bagaimana bisa bertahan hidup. Itu pun, diterima oleh sarjana S-1 tiga bulan sekali. Namun, gadis berjilbab asli Ende, NTT ini mengatakan menjadi pendidik adalah panggilan jiwa. Banyak teman saya pindah profesi, karena persoalan kebutuhan hidup, ujar nona berusia 26 tahun ini.

Muslimah yang rajin puasa Senin-Kamis ini untuk menambah penghasilannya menjadi guru honor di salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Kota Ende. Itu pun hanya Rp200.000 sebulan.

Berbeda dengan Ayu, tutor bahasa Inggris Sylvester yang mengajar tiga kelas di Kabupaten Manggarai lebih beruntung. Meskipun, masih dibayar tiga bulan sekali, honornya Rp150.000 per bulan, Sedangkan, tenaga lapangan Diknas (TLD) Agustina Prima yang bertugas di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat memeroleh honor Rp700.000 sebulan. Sebagai tenaga lapangan pekerjaannya serabutan. Pokoknya mengisi apa saja yang kurang dalam proses pembelajaran pendidikan non formal di pulau wisata hewan langka tersebut. Ya itu program paket, anak usia dini, maupun keaksaraan, ujar wanita yang namanya sudah masuk data base di Balai Kepegawaian Daerah (BKD) untuk sejak 2005.

Itulah potret guru non formal. Potret buram ini agaknya tidak terlalu jauh berbeda di sejumlah daerah di NTT. Bahkan, juga gambaran kekumuhan guru non formal di seluruh Indonesia nyaris sama saja.

http://ng.republika.co.id/berita/132/Guru_Non_Formal_Ditirikan

Sekolah Anak-anak Bukit di Meratus

Desa Hampang Kecamatan Halong Kabupaten Balangan, salah satu desa terpencil yang mayoritas dihuni warga suku Dayak Meratus ini, cukup sulit dijangkau. Jalan sepanjang 15 kilometer dari Desa Tabuan masih berupa jalan tanah yang becek dan rawan jadi kubangan saat hujan. untuk mencapai lokasi, sebuah mbil yang double gardan pun harus dibantu dengan mobil jeep khusus off road agar tidak terjebak lumpur terlalu lama. Lokasi yang terpencil itu dapat dicapai setelah Perjalanan yang sulit terhentak-hentak di dalam mobil selama sekitar satu jam di jalan tanah yang becek dan terjal.

Kepala SD kecil Hampang, Sumardi mengatakan ada 45 murid usia 9-17 tahun bersekolah di SD itu. Kelas satu ada 20 murid dan kelas dua 25 murid. Hanya ada tiga orang guru, termasuk dirinya, yang mengajar secara bergantian. bangunan sekolah memanjang yang terdiri dua lokal untuk kelas satu dan kelas dua.

Murid di SD kecil memang tidak semuanya anak-anak. Rata-rata sudah berusia setara siswa SMP dan SMA. Bahkan untuk paket A atau pendidikan setara SD yang juga dibuka di sekolah ini, memiliki siswa berusia 29 tahun. Saat bersekolah, tidak semua siswa, terutama yang dewasa mau mengenakan seragam sekolah. Demikian halnya dengan alas kaki yang masih banyak mengenakan sandal jepit atau bertelanjang kaki. Sekolahnya mulai hari Isnin (Senin) sampai Jumahat (Jumat). Sabtu dan Minggu libur karena membantu orangtua menoreh di kabun (kebun)

Sumardi mengatakan, mendidik anak-anak bukit di daerah terpencil tidak gampang. Perlu penanganan khusus dan toleransi lebih daripada siswa di kota. Dia juga harus melakukan kompromi dengan orangtua agar membolehkan anaknya sekolah. Pihaknya mengizinkan anak belajar cuma sampai Jumat agar Sabtu dan Minggu bisa membantu orangtua di kebun. Dengan kebijakan itu, prosentase keaktifan ke sekolah meningkat.

Menurut Sumardi kebijakan itu karena kecenderungan siswa yang temperamental, kurang sopan santun dan disiplin. Apalagi orangtua yang rata-rata petani masih acuh dengan pendidikan anak dan malah sering mangajak membantu di kebun sehingga pendidikan terabaikan. Kendala lain, fasilitas sekolah sangat minim. Jangankan buku pelajaran, untuk buku tulis pun terkadang tidak ada.

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS BAGI ANAK-ANAK KORBAN BENCANA BANJIR DI PALANGKA RAYA

Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan Palangka Raya, yaitu sekitar Kecamatan Sabangau ada 3 Kelurahan yang sering terkena musibah banjir bila musim penghujan tiba. Kelurahan tersebut adalah Kelurahan Danau Tundai, Kelurahan Bereng Bengkel, dan Kelurahan Kameloh Baru. Di Kelurahan-kelurahan tersebut terdapat 3 SD Negeri dan 2 SMP dengan jumlah siswa seluruhnya 321 orang, sedangkan jumlah guru baik yang PNS maupun honor ada 47 orang. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah tersebut sering terhambat karena bencana banjir. Walaupun bangunan sekolah sudah ditinggikan namun bagi siswa yang tidak mempunyai jukung (perahu dayung) tidak bisa sekolah. Begitu pula bagi guru-guru mereka harus carter kelotok dengan biaya yang sangat memberatkan.

Lembaga Pendidikan Khusus “Melati Ceria” Palangka Raya mempunyai program Pendidikan Layanan Khusus diantaranya Program Remedial/Pengayaan bagi siswa yang memerlukan. Program tersebut bisa membantu siswa-siswa yang mengalami hambatan belajar, baik hambatan yang ada pada diri siswa maupun hambatan yang datang dari luar diri siswa seperti karena adanya bencana alam seperti banjir atau kebakaran, dan sebagainya. Khusus bagi siswa berbakat dan cerdas istimewa Lembaga ini juga mempunyai program pengayaan sehingga potensi yang ada pada anak tersebut dapat berkembang seoptimal mungkin.

Oleh karena itu Lembaga Pendidikan Khusus “Melati Ceria” Palangka Raya mengajukan permohonan bantuan subsidi kepada pemerintah yaitu Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Jakarta sesuai dengan kebutuhan yang sangat mendesak pada saat ini. Dan Alhamdulillah usulan tersebut dapat dikabulkan.

Tujuan penyelenggaraan pendidikan layanan khusus sebagai berikut :
  1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan pendidikan khusus.
  2. Membantu proses belajar mengajar pada pendidikan dasar.
  3. Memotivasi siswa dan guru dalam proses belajar mengajar
Kegiatan ini meliputi kegiatan – kegiatan :
  1. Sosialisasi Program PLK
  2. Pemberian Alat Bahan Ajar
  3. Kunjungan ke sekolah – sekolah rawan banjir
  4. Bimtek PLK bagi guru – guru sekolah rawan banjir
  5. Kegiatan Lomba bagi siswa – siswa sekolah rawan banjir

Layanan BK Belum Merata di Sekolah

BANDUNG, (PR).- Pemerintah kabupaten/kota melalui dinas pendidikan masing-masing, diminta lebih peduli terhadap pemerataan layanan bimbingan dan konseling (BK), khususnya di sekolah menengah kejuruan (SMK). Pemetaan yang akurat menjadi syarat mutlak pembuatan berbagai program peningkatan kualitas.

Persoalannya, hingga saat ini, seolah tidak ada koordinasi pendataan antara disdik kab./kota dan Disdik Jabar, sehingga data lengkap tentang layanaan BK sulit didapatkan.

"Jika dinas tidak memiliki data, bagaimana program peningkatan kualitas layanan BK bisa dijalankan? Yang terjadi, banyak kegiatan menjadi sporadis dan asal ada, tanpa menyentuh kebutuhan yang sebenarnya," kata Ketua Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (Abkin) Jabar Uman Suherman di Bandung, Kamis (29/1).

Selain persoalan utama tidak adanya guru BK di mayoritas SMK, kompetensi guru di kebanyakan sekolah juga dipertanyakan. Banyak guru mengambil peran BK semata untuk memenuhi tuntutan banyaknya jam mengajar, tanpa ada pembekalan yang mendalam. Akibatnya, layanan BK menjadi tidak maksimal.

"Sudah saatnya disdik memiliki pemetaan yang rapi dan akurat. Antara kab./kota dan provinsi, mestinya ada garis koordinasi yang terjalin baik. Kepala sekolah bisa menjadi ujung tombak," ujarnya yang juga Sekretaris Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Sulit

Ditemui terpisah, Kepala Subdinas Pendidikan Menengah-Tinggi (Dikmenti) Disdik Jabar Otji mengungkapkan, guru BK memegang peran besar dalam proses pendampingan siswa, baik di SMA maupun SMK. Pemerataan guru di setiap sekolah dia rasa sebagai sesuatu yang penting. Persoalannya, sangat sulit membuat pemetaan layanan BK secara menyeluruh di Jabar.

"Sejak otonomi daerah, kita tidak memiliki wewenang lagi. Semua dikelola kab./kota. Mungkin itu yang membuat mereka enggan melaporkan perkembangan secara rutin tiap tahun. Kita tidak memiliki data," ucap Otji. (A-165)

Sentra Pendidikan Layanan Khusus Ditambah

Pada tahun 2007, pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus, terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini merupakan bagian penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Dikdasmen Depdiknas, Eko Djatmiko, ditemui di sela-sela acara Spirit, ”Kreasi Gemilang Anak-anak Luar Biasa Indonesia", di Bandung, Kamis (16/11). Acara tahunan ini menghadirkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus dari 33 provinsi se-Indonesia.

Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang dimaksud diantaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (NAD). Daerah-daerah yang menjadi pilot project ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.

”Program (pendidikan layanan khusus atau PLK) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, PLK ini ditujukan bagi siswa-siswa yang berada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil (KAT), daerah konflik, maupun bekas bencana alam,” ungkapnya.

Berbeda dengan pendidikan luar sekolah (PLS), sasaran PLK ini adalah siswa-siswa usia wajar dikdas 9 tahun. Keunikan dari program ini, metoda pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Melainkan, dipadukan dengan pembekalan life skill yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.

Tahun 2006 ini, PLK ini diujicobakan di sedikitnya 12 daerah yang ada di tanah air, diantaranya Lampung, Medan, Batam, Makassar, Sulawesi Tengah dan Mataram. Di antara sejumlah sentra, lokasi pengungsian di Atambua (Nusa Tenggara Timur) dan KAT Suku Anak Dalam (Jambi) menjadi salah satu indikator keberhasilan program.

Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa efektif membantu pencapaian target wajar dikdas, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. ”Tahun 2006 ini, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah (wajar dikdas) yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus,” ujarnya kemudian.

Anggaran ditingkatkan

Untuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007 mendatang. Kenaikannya, mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp 365 miliar. Dari total Rp 365 miliar anggaran PSLB, 30 persen diantaranya ditujukan untuk PLK.

Agus Prasetyo, penanggung jawab sebuah PLK yang beroperasi di daerah bencana khususnya NAD, menyambut baik penambahan alokasi anggaran tersebut. ”Ini tentunya sangat baik. Bisa mendukung operasional dan pengembangan kualitas tutor. Apalagi, selama ini kegiatan (PLK) ini sifatnya sukarela. Padahal, jangkauan daerah sangat luas

kompas cyber media

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

KUPANG, SABTU-Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.

Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.

Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/11/18122444/masyarakat.harus.dukung.pendidikan.layanan.khusus

Baru 64.000 Anak Cacat Mendapatkan Pendidikan Ksusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.

Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus

JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.

Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.

Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.

Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.

"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.

Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.

Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.

Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.

Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.

"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.

Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.

"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?

Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.

Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.

Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.

Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.

Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).

Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).

Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.

Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.

http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Edukasi&id=131764

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KHUSUS UNTUK SISWA CI/BI

Perlunya pendidikan untuk anak yang memiliki potensi cerdas istimewa (CI) secara eksplisit diungkapkan dalam UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Secara spesifik disebutkan bahwa anak CI berhak mendapatkan pendidikan khusus, yang diarahkan untuk pengembangan potensi yang ada agar dapat diwujudkan dalam bentuk karya atau prestasi.

Selama ini layanan pendidikan untuk anak CI diwujudkan dalam bentuk program akselerasi yang dilakukan di sekolah-sekolah mulai tingkat SD, SMP sampai SMA. Program akselerasi yang dilakukan lebih diarahkan pada percepatan penyelesaian studi, SD dapat diselesaikan dalam waktu 5 tahun dan SMP/SMA diselesaikan dalam waktu 2 tahun. Di satu sisi, program ini menjadi salah satu andalan sekolah untuk memberikan nilai tambah, sehingga reputasi sekolah yang bersangkutan menjadi lebih baik di mata masyarakat. Sehingga banyak sekolah yang berminat membuka program tersebut, meskipun kesiapan sumber daya dan pemahaman tentang konsep anak CI masih sangat terbatas.

Berdasarkan data yang ada pada penulis, di seluruh Indonesia terdapat 191 sekolah penyelenggara akselerasi yang tersebar di 22 propinsi. Data ini agak berbeda dengan data resmi Dit PSLB tahun 2007 yang menyatakan bahwa terdapat 130 sekolah tersebar di 27 propinsi dengan jumlah siswa 4510 orang. Meskipun kedua data ini berbeda, namun tampak bahwa jumlah anak CI yang terlayani jumlah masih relatif sedikit.

Beberapa ahli psikologi menyatakan bahwa sekitar 2,2% dari populasi anak usia sekolah, ada yang memiliki kecerdasan istimewa. Apabila menggunakan data BKKBN tahun 2004 terdapat 39.246.700 orang anak usia 7-15 tahun. Artinya terdapat 863.427 anak CI. Jika dibandingkan dengan data Direktorat PSLB tahun 2007, yang menyebutkan baru 4.510 anak CI yang terlayani di program akselerasi, berarti baru 0,52% yang terlayani.

Di sisi lain, sorotan akan keberadaan program akselerasi juga tidak kurang semaraknya. Salah satu hal penting yang disoroti adalah rendahnya kecakapan sosial siswa, sehingga cenderung mereka menjadi asing dengan lingkungan dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Sorotan negatif ini kemudian menjadi alasan bagi sekelompok pihak untuk meminta pembubaran program akselerasi. Kritik tersebut dapat dipahami, karena jika dicermati lebih jauh, tidak semua siswa di kelas akselerasi memenuhi kriteria psikologis yang mencakup IQ, kreativitas dan task commitment. Akibatnya mereka tidak mampu mengikuti program dengan baik dan berdampak prestasi yang diraih menjadi tidak optimal. Faktor guru, juga merupakan aspek yang mempengaruhi efektivitas penyelenggaraan akselerasi. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar guru tidak disiapkan untuk mengajar di program akselerasi, serta karateristik psikologis guru tersebut kurang cocok untuk melayani anak CI. Di samping itu, ditemukan juga di beberapa sekolah, penugasan guru untuk mengajar program akselerasi dilakukan secara bergantian (seperti model arisan) dengan alasan pemerataan kesempatan.

Kondisi di atas menunjukkan bahwa layanan pendidikan untuk anak CI belum dilakukan secara cukup memadai. Lebih jauh diperlukan keterlibatan semua pihak untuk menjadikan pendidikan. Menyadari keadaan semacam itu, pada bulan Desember 2007 dilakukan pertemuan di Semarang yang diikuti oleh unsur sekolah, perguruan tinggi, Direktorat PSLB, Dinas Pendidikan dan kelompok masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap anak CI. Pertemuan tersebut menyepakati pembentuk suatu perhimpunan yang diberi nama Asosiasi Penyelenggara, Pengembang dan Pendukung Pendidikan Khusus untuk Anak Cerdas/Berbakat Istimewa disingkat ASOSIASI CI/BI. Secara umum ada tiga kelompok yang berhimpun dalam Asosiasi, yaitu sekolah (penyelenggara), perguruan tinggi (pengembang), serta pemerintah dan masyarakat (pendukung).

Asosiasi CI/BI merupakan badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka peningkatan mutu secara berkelanjutan dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Pendidikan Asosiasi CI/BI memiliki 4 tujuan, yaitu: (1) meningkatkan kapasitas kelembagaan penyelenggara pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, (2) Meningkatkan peluang bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh akses terhadap layanan pendidikan yang bermutu dan berkelanjutan, (3) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, (4) Mengembangkan jaringan informasi dan kerjasama.

Sementara itu, Asosiasi CI/BI berfungsi sebagai : (1) Penggerak, mendorong lembaga pendidikan penyelenggara pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk melakukan layanan pendidikan yang bermutu, efektif, dan berkelanjutan., (2) Pemberdaya, melakukan pembinaan dan pengembangan manajemen dan mutu layanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, (3) Pengkoordinasi, membangun kerjasama dengan pemerintah dan instansi terkait dalam pemberdayaan lembaga penyelenggara pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa

Saat ini Asosiasi CI/BI sedang melakukan penataan organisasi dan penguatan kelembagaan melalui pembentukan pengurus-pengurus wilayah di setiap propinsi yang telah memiliki sekolah akselerasi. Di samping itu, Asosiasi CI/BI juga melakukan identifikasi pengumpulan data tentang anak-anak cerdas istimewa yang mengikuti program akselerasi. Asosiasi juga berupaya untuk memfasilitasi pengembangan potensi siswa cerdas/berbakat istimewa yang selama tidak terakomodasi di lembaga pendidikan formal dalam bentuk program akselerasi atau lainnya.

Dalam bidang kurikulum, pokja Asosiasi sedang melakukan kajian tentang kompetensi terutama bidang MIPA yang harus dimiliki oleh anak CI. Hal ini dilakukan karena selama ini, tidak tampak perbedaan kompetensi antara siswa program reguler dan program akselerasi. Yang membedakan hanya kecepatan menyelesaikan materi yang ditentukan dalam standar isi. Dalam bidang pembelajaran, Asosiasi CI/BI sedang,mengkaji model pembelajaran inklusif untuk anak CI melalui sistem moving class dan pembelajaran akselerasi di dalam kelas inklusif.

Perhimpunan yang dibangun relatif masih baru, oleh karena itu aktivitas yang diselenggarakan oleh Asosiasi CI/BI masih sangat terbatas. pada tahun 2008, pengurus Asosiasi telah melakukan dua pertemuan untuk koordinasi program dan pertengahan Juni 2008 telah diadakan pelatihan Identifikasi Anak CI yang diikuti oleh para psikolog dari lingkungan perguruan tinggi maupun praktisi di biro psikologi yang menjadi mitra sekolah-sekolah akselerasi. Direncanakan pada akhir Juli 2008 Asosiasi akan meluncurkan blog dan pada akhir Agustus 2008, akan mengadakan seminar nasional tentang pengembangan pendidikan khusus bagi anak cerdas istimewa dari prespektif pemerintah, psikolog, pendidik, serta pendidikan karakter bagi anak CI. Cita-cita yang ingin dibangun Asosiasi CI/BI adalah menjadi bagian dari bangsa ini untuk membangun pendidikan yang lebih baik bagi semua. Meskipun terkesan ekslusif, namun program-program yang terkait dengan pengembangan pendidikan khusus bagi anak CI memberikan multiplier effect pada pendidikan secara keseluruhan.

http://asosiasicibinasional.wordpress.com/2008/09/13/pengembangan-pendidikan-khusus/