Profil Saya


Andhang Pramadhani yang biasa di panggil Andank, lahir di Pemalang sebuah kabupaten di Jawa Tengah, pada tanggal 16 Juni 1990. Saya anak kedua dari tiga bersaudara.

Pada saat saya berumur 4 bulan, saya langsung di bawa oleh ibu saya untuk pindah ke Bekasi karena harus mengikuti Ayah saya yang bekerja di Jakarta. Setelah umur saya menginjak 3 tahun, saya ingin merasakan pendidikan formal dan akhirnya saya di sekolah kan oleh Ibu saya di sebuah TK di daerah Bekasi, tapi maaf saya lupa dengan nama TK tersebut yang pasti tepatnya TK tersebut ada di Perumahan Villa Mas Garden Bekasi. Semasa di TK saya penah mengikuti sebuah perlombaan mewarnai antar TK dan saya menjadi juara pertama pada perlombaan tersebut. Pada saat umur saya 4 tahun, saya harus kembali lagi pulang ke kampung halaman saya di Pemalang, karena Nenek saya di rumah sendirian dan beliau sudah mulai sakit-sakitan, jadi Ibu saya harus menjaga dan merawatnya. Maklum, Ibu saya adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara.

Setelah pindah ke Pemalang, saya melanjutkan studi saya di sebuah TK di dekat tempat tinggal saya. Saya tinggal di Desa Randudongkal dan TK tersebut namanya adalah TK Salafiyah. Menginjak umur 5 tahun, saya sudah mulai merasakan kejenuhan serta bosan dengan suasana pembelajaran di Taman kanak-kanak karena saya sudah merasakan pendidikan tersebut selama dua tahun dan saya sudah lulus. Tetapi karena usia saya masih tergolong muda untuk melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar, maka Ibu saya menitipkan saya kepada seorang guru Sekolah dasar di daerah saya agar saya dapat merasakan pendidikan Sekolah Dasar. Guru tersebut tidak lain adalah tetangga saya sendiri. Pada awalnya saya hanya ikut-ikutan belajar saja, tetapi pada setiap caturwulan kelas satu, saya selalu mendapatkan peringkat di kelas. Jadi saya dapat meneruskan belajar sampai dengan kelas dua, hingga lulus dari pendidikan Sekolah Dasar. Saya mendapatkan pendidikan dasar di SD Negeri 5 Randudongkal.

Semasa belajar di Sekolah Dasar dari kelas satu sampai kelas enam, alhamdulillah hampir setiap caturwulan saya selalu mendapatkan peringkat di kelas. Sehingga pada saat saya lulus dari Sekolah Dasar, saya dapat melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama yang bagus di daerah saya. Saya melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama pada saat usia saya menginjak umur 11 tahun. Saya memperoleh pendidikan menegah pertama di SMP Negeri 1 Randudongkal. Pada awal saya memulai belajar di Sekolah Menengah Pertama, saya mulai merasakan perbedaan dalam pembelajarannya karena di tingkat Sekolah Menengah Pertama saya mendapatkan guru yang berbeda-beda setiap mata pelajaran. Berbeda pada saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar yang masih menggunakan guru kelas, hanya pada mata pelajaran tertentu saja guru lain yang mengajar. Jadi pada saat saya memulai belajar di tingkat Sekolah Menengah Pertama, saya harus menyesuaikan diri dengan keadaan baru tersebut. Karena pelajaran-pelajaran di tingkat Sekolah Menengah Pertama tergolong asing bagi saya, maka saya mengikuti pembalajaran tambahan di luar jam sekolah ( Les private ) dan usaha saya ini tidak sia-sia karena hampir setiap caturwulan atau semester saya selalu mendapatkan peringkat di kelas. Tidak hanya setiap caturwulan atau semester saja, tetapi pada saat Ujian Akhir pun saya mendapatkan nilai yang cukup memuaskan, sehingga saya dapat melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas dan dapat memilih Sekolah yang bagus.

Saya lulus pendidikan Sekolah Menengah Pertama pada usia 14 tahun dan saya langsung meneruskan pendidikan formal yang lebih tinggi lagi yakni pendidikan Sekolah Menengah Atas. Saya meneruskan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Pemalang. Tidak berbeda jauh pada saat saya pertama kali merasakan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Pertama, saya kali ini juga harus menyesuaikan diri dengan pembelajaran di Sekolah Menengah Atas karena pada saat saya menginjak pendidikan Sekolah Menengah Atas, kurikulum di negara Indonesia mengalami pergantian sehingga cara pembelajarannya pun akan berbeda. Pada saat itu kurikulum baru yang di pakai adalah Kurikulum Berbasis Kopetensi ( KBK ). Karena dalam kurikulum yang baru ini tidak ada urutan peringkat kelas, maka saya agak lumayan santai yang paling penting adalah nilai-nilai saya bagus. Dan pada saat saya menginjak usia 17 tahun, akhirnya saya lulus dari Sekolah Menengah Atas dengan nilai yang memuaskan.

Walaupun saya tidak menyukai jurusan yang saya ambil dan yang sudah saya jalankan selama 2 semester ini, saya masih tetap belajar dengan tekun agar dapat lulus tepat waktu dan mendapatkan nilai yang memuaskan. Aminnnnnn....

Sekian cerita perjalanan hidup saya, mungkin ada kata-kata yang kurang enak ataupun ada kesalahan dalam pengetikannya, saya pribadi memohon maaf. Terima kasih.

Sabtu, 28 Februari 2009

PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT ANGKATAN V

Keberadaan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang diundangkan tanggal 5 April 2006, tidak saja memberikan kepastian hukum dan status hukum bagi advokat sebagai penegak hukum, yang berprofesi memberikan jasa hukum, (seperti : memberikan konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentngan klien), tetapi juga menuntut lahirnya advokat-advokat yang profesional, demi terciptanya hukum dan keadilan.

Syarat untuk menjadi advokat antara lain adalah lulus pendidikan tinggi hukum, telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat, lulus ujian advokat, serta telah magang selama dua tahun berturut-turut di kantor advokat. Pelaksanaan pendidikan khusus dan ujian advokat menjadi kewenangan organisasi profesi. Selain itu organisasi profesi juga melakukan pengangkatan, pengawasan (oleh Dewan Pengawas) serta menindak, termasuk memberhentikan advokat (oleh Dewan Kehormatan).


Selama ini organisasi advokat tergabung dalam Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang dideklarasi oleh organisasi profesi Advokat Indoensia yang terdiri dari: Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal Indonesia (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Menurut Undang-Undang Advokat, organisasi profesi harus sudah terbentuk selambat-lambatnya 2 tahun. Amanat UU Advokat sudah terealisasi dengan dibentuknya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).


Kewenangan yang diberikan kepada organisasi profesi Advokat (PERADI) untuk menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat, diharapkan dapat memenuhi standar kualitas profesi advokat. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan kerangka dan rancangan materi program pendidikan khusus profesi advokat dengan jumlah sesi dan bobot dari masing-masing sesi mata ajar.


Kewenangan pada PERADI untuk menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat, dapat dilaksanakan sendiri oleh PERADI maupun dilaksanakan oleh PERADI dan bekerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan/profesi lainnya.


Dalam kaitannya dengan maksud tersebut diatas, Unika Atma Jaya bekerjasama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI).


http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=4193


Sekolah khusus dan kelas khusus

Jumlah sekolah khusus meningkat di Eropa selama abad ke-19 dan 20. Dan peningkatan terjadi pula pada jumlah kebutuhan khusus yang teridentifikasi dan dikategorikan, yang selanjutnya mengarah pada pendirian sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga yang lebih terspesialisasi berdasarkan jenis kecacatan dan kesulitan yang dihadapi anak. Sebagian dari sekolah-sekolah ini swasta dan yang lainnya sekolah negeri.

Norwegia mengikuti tren yang sama dengan negara Eropa lainnya. Karena anak-anak dengan ketunagrahitaan berat dan parah dikeluarkan dari sistem persekolahan di Eropa, maka tanggung jawab untuk pelayanan mereka juga dikeluarkan dari hukum pendidikan Norwegia dan dipindahkan ke departemen kesehatan. Dalam Undang-Undang Norwegia yang ketiga dan terakhir tentang sekolah khusus (1951), kelompok-kelompok berikut ini disebutkan: anak dan remaja yang tunarungu atau berkesulitan mendengar, mereka yang tunanetra atau yang kurang awas, mereka yang lambat belajar, mereka yang berkesulitan berbicara, membaca atau menulis, dan mereka yang mengalami gangguan perilaku.

Dukungan pengajaran ekstra bagi siswa yang ketinggalan oleh sebagian besar anggota kelasnya sudah dibahas sejak tahun 1850-an di ibu kota Norwegia. Variasi tingkatan pengetahuan dan keterampilan siswa-siswa itu sangat besar sehingga kepala sekolah mengeluh tentang banyaknya penggunaan waktu untuk mengulang materi yang sangat mendasar. Penyebab keadaan tersebut banyak sekali. Sebagaimana disebutkan di muka, frekuensi membolos di kalangan anak-anak itu tinggi karena keluarga membutuhkan anaknya di rumah atau untuk bekerja. Di samping itu, ada anak yang tidak bersekolah karena tertular penyakit epidemik, yang sebagian disebabkan oleh kekurangan gizi dan buruknya kondisi kebersihan. Selain dari itu, sebagian siswa adalah anak yang lambat belajar atau mengalami kesulitan belajar lainnya. Tidak ada tindakan permanen yang dilakukan pada saat itu mengenai pengaturan pengajaran khusus, tetapi perdebatan mengenai hal itu telah dimulai.

Satu dekade kemudian, pada tahun 1860, kelas khusus pertama didirikan di Drammen, sebuah kota dekat ibu kota. Kelas baru tersebut dimaksudkan bagi anak-anak yang “terabaikan dan yang dapat terabaikan”, sebagaimana diistilahkan pada saat itu. Kelas khusus ini menandai titik awal pengorganisasian kelas remedial di Norwegia dan Eropa. Akan tetapi, tidak sampai satu abad kemudian, tahun 1955, pengajaran remedial dilembagakan dan dijamin secara finansial oleh undang-undang pendidikan dasar Norwegia (Johnsen 2000).

http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/Pengenalan_Sejarah_Pendidikan_Kebutuhan.php

Resolusi No. 03/ VII/Tap/Munas-VI/Pertuni/2004 tentang Pendidikan Khusus

Menimbang :

  • Bahwa pendidikan bagi para penyandang cacat seyogyanya merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan umum;
  • Bahwa mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus akibat kecacatan seyogyanya memperoleh akses ke sekolah umum yang dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan khususnya;
  • Bahwa sekolah umum dengan orientasi inklusi tersebut merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai Pendidikan untuk Semua;
  • Bahwa sekolah semacam ini akan memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menurunkan ongkos bagi seluruh sistem pendidikan;
  • Bahwa pengiriman anak secara permanen ke sekolah luar biasa ‑ atau kelas khusus atau bagian khusus di sebuah sekolah umum ‑ seyogyanya merupakan suatu kekecualian, yang direkomendasikan hanya pada kasus-kasus tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas reguler tidak dapat memenuhi kebutuhan pendidikan atau sosial anak, atau bila hal tersebut diperlukan demi kesejahteraan anak yang bersangkutan atau kesejahteraan anak-anak lain di sekolah umum;

Mengingat :

  • Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945;
  • Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990);
  • Peraturan Standar tentang Persamaan Hak dan Kesempatan bagi Penyandang Cacat (Resolusi PBB No. 48/96 Tahun 1993);
  • Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus (Unesco, 1994);
  • Undang-undang RI No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
  • Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya Pasal 32);

Maka dengan ini Musyawarah Nasional Persatuan Tunanetra Indonesia, yang diselenggarakan pada tanggal 4-8 Januari 2004, mengusulkan kepada Presiden Republik Indonesia hal-hal sebagai berikut :

  • Hendaknya peraturan pemerintah tentang pendidikan khusus (yang seyogyanya dikeluarkan sesuai dengan amanat Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 32 ayat 3) mengakomodasi hak penyandang cacat untuk bersekolah dalam seting inklusi di sekolah umum dengan layanan pendidikan khusus.
  • Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, hendaknya pendidikan khusus tidak diartikan sebagai pendidikan di sekolah khusus (atau sekolah luar biasa), melainkan layanan pendidikan khusus yang diberikan kepada para peserta didik penyandang cacat yang diselenggarakan dalam seting segregasi di sekolah khusus maupun dalam seting inklusi di sekolah umum.
  • Hendaknya SLB yang ada dikembangkan fungsinya sehingga mencakup fungsi sebagai pusat sumber bagi sekolah umum yang melayani peserta didik penyandang cacat.
  • Hendaknya Direktorat Pendidikan Luar Biasa beserta lembaga infrastrukturnya berfungsi sebagai lembaga koordinasi sistem pendukung pendidikan kebutuhan khusus bagi peserta didik penyandang cacat di berbagai seting pendidikan termasuk di sekolah umum.

http://www.idp-europe.org/pertuni/Resolusi2004/PendidikanKhusus.php

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus


KUPANG,SABTU - Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.

Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.

Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

KOR

http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/11/18122444/masyarakat.harus.dukung.pendidikan.layanan.khusus

Pendidikan Khusus Korpaskhas TNI AU Paripurna


JAKARTA, SELASA — Komandan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara Marsma Harry Budiono menutup dua pendidikan, Kursus Komandan Kompi dan Kursus Spesialisasi Bravo, di Wing III Diklat Paskhas, Pangkalan Udara TNI AU Sulaiman, Bandung, Selasa, (9/12).

Kedua jenis pendidikan berlangsung tiga bulan diikuti 18 orang prajurit Paskhas berpangkat perwira dari batalyon satuan jajaran Korpaskhas seluruh Indonesia (Sus Danki) dan 29 orang prajurit Paskhas (Sus Bravo).

Predikat siswa terbaik diperoleh Letda Pasukan David Dulinggomang dari Batalyon 461 Paskhas Jakarta dan Prada Laude Ronie dari Detasemen Bravo.

Dalam pidato sambutannya, Harry mengatakan, penyelenggaraan kedua jenis pendidikan kursus tersebut dilakukan untuk menjamin ketersediaan prajurit Paskhas yang siap digunakan sesuai kemampuan untuk mendukung, baik tugas-tugas Korpaskhas, maupun tugas bersama satuan TNI lain.

Wisnu Dewabrata

http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/09/19310624/pendidikan.khusus.korpaskhas.tni.au.paripurna

Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak

Pontianak - Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta. 

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin. 

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya. 

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak. 

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional. 

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak. 

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)< Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta. 

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin. 

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya. 

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak. 

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional. 

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak. 

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.

sumber : http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Kota&id=148709

HALAQOH ”MANAJEMEN DAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM” KOTA BATU


Batu - 11/02 Rabu, pagi kemarin digelar acara yang bertajukkan Halaqah "Managemen dan Penggelolaan Pendidikan Keagamaan Islam" di gedung Islamic Centre Kota batu. Acara tersebut dihadiri oleh jajaran pemerintah kota Batu yang diwakili H.A. Budiono Wakil Walikota Batu. Dalam halaqoh kemarin hadir pula Kepala Departemen Agama Kota Batu, Kepala KUA dan PPAI Kota Batu, Para Narasumber Dari PPS Sidogiri Kabupaten Pasuruan,Pengasuh Pondok Pesantren, Kepala Diniyah dan TPQ se- Kota Batu beserta segenap Perwakilan dari Organisasi Kemasyarakatan Kota Batu.

Dalam kesempatan itu Wakil Walikota Batu dalam sambutannya mengungkapkan dalam mewujudkan Batu menjadi sentra pariwisata dan pertanian tak kan lepas dari dengan nilai-nilai agama, maka pada pagi itu Wakil Walikota Batu mengungkapkan bahwa Pemerintah sepakat bahwa dalam membengun Batu sebagai sentra wisata harus sejalan dengan sumber daya manusia yang didukung oleh nilai-nilai agama.Untuk mewujudkan SDM di kota Batu yang bernilai agama diperlukan kerjasama antar semua lini masyarakat guna membangun moral generasi penerus kita.

Kegiatan halaqoh rabu kemarin bertujuan untuk menyatukan semua aspek masyarakat termasuk kalangan pondok pesantren, kelompok pengajian, majlis taklim, TPQ dan diniyah takmiliyah agar bersama-sama membangun generasi penerus di Kota batu ini menjadi generasi yang berkualitas dan dapat memajukan Kota Batu kedepannya. Dengan kegiatan ini diharapkan kelak generasi penerus Kota Batu menjadi manusia-manusia yang berakhlak dan beragama.

Sumber : humas.batukota

http://www.batukota.go.id/ina/index.php?mg=HOME&id=38&kd=2281&did=detail

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2007 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN

UMUM


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) berbunyi: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang". Atas dasar amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahan Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah "pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia".


Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 37 ayat (1) mewajibkan Pendidikan Agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut "Pendidikan Agama". Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan agar agama dapat dibelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran/kuliah agama. Pendidikan Agama dengan demikian sekurang-kurangnya perlu berbentuk mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Agama untuk menghindari kemungkinan peniadaan pendidikan agama di suatu satuan pendidikan dengan alasan telah dibelajarkan secara terintegrasi. Ketentuan tersebut terutama pada penyelenggaraan pendidikan formal dan pendidikan kesetaraan.


Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 12 ayat (1) huruf a mengamanatkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama. Ketentuan ini setidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu pertama, untuk menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama; kedua, dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan yang sama; ketiga, pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.


Pendidikan keagamaan pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, perguruan-perguruan keagamaan sudah lebih dulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama disadari merupakan bagian tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan keagamaan juga berkembang akibat mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi berbagai keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya dengan tambahan pendidikan agama di rumah, rumah ibadah, atau di perkumpulan-perkumpulan yang kemudian berkembang menjadi satuan atau program pendidikan keagamaan formal, nonformal atau informal.


Secara historis, keberadaan pendidikan keagamaan berbasis masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat belajar, terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan. Dalam kenyataan terdapat kesenjangan sumber daya yang besar antar satuan pendidikan keagamaan. Sebagai komponen Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan keagamaan perlu diberi kesempatan untuk berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk Pemerintah dan pemerintah daerah.


Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan kesepakatan bersama pihak-pihak yang mewakili umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Masing-masing telah memvalidasi rumusan norma hukum secara optimal sesuai karakteristik agama masing-masing.


Pemerintah Daerah Berupaya Maksimal Membantu Pendidikan Keagamaan

Pemerintah daerah akan selalu berupaya maksimal untuk membantu lancarnya pembangunan di bidang pendidikan, khususnya pendidikan di bidang keagamaan, guna mewujudkan Kabupaten Banjar yang Baiman Bauntung dan Batuah. Namun sejauh ini masih terkendala Permendagri nomor 13 tahun 2006, khususnya bantuan yang diberikan kepada sekolah agama swasta. 

Hal tersebut dikemukakan Bupati Banjar HG. Khairul Saleh saat menerima kunjungan puluhan orang perwakilan guru-guru agama swasta se-Kabupaten Banjar, Senin (3/12) di runag kerjanya.

Lebih jauh Khairul Saleh menyatakan, salah upaya untuk membantu pendidikan keagamaan tersebut adalah dengan diserahkannya bantuan sebesar sebesar Rp. 3,6 miliyar lebih untuk 1.494 guru TK Alqur’an, 167 guru TK Alqur’an Albanjari, 1.195 guru madrasah diniyah awwaliyah dan 126 guru madrasah diniyah wustho. 

Disamping itu bantuan tersebut menurut Khairul Saleh juga diserahkan bantuan untuk 1.435 guru pondok pesantren, 1.583 guru madrasah ibtidayah, tsanawiyah dan aliyah swasta serta bantuan untuk 187 orang penghulu se-Kabupaten Banjar saat menjelang Lebaran 1428 hijriyah beberapa waktu lalu.

Sehubungan dengan adanya keinginan para pelaku pendidikan agama swasta tersebut tentang bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan ujian nasional Khairul Saleh menyatakan, untuk sekolah agama negeri sudah menjadi tanggung jawab Departemen Agama, sedangkan untuk sekolah agama swasta, akan dianggarkan melalui APBD yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan.

Sementara Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Banjar H. Nabhani Abdullah, mengemukakan saat ini pihaknya masih terkendala untuk membantu Pemerintah dalam mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) 9 tahun, karena masih banyaknya sekolah swasta yang masih menggunakan kurikulum Pondok Pesantren dan tidak menggunakan kurikulum Depag, sehingga tidak dapat mengikuti ujian nasional.

Menanggapi kendala itu, Wakil Bupati Banjar KH. Muhammad Hatim, Lc yang juga turut menerima kunjungan tersebut mengemukakan, untuk merubah atau mengganti kurikulum Pondok Pesantren menjadi Kurikulum Depag memang tidak mungkin, mengingat siswa yang masuk sekolah di madrasah swasta pada sore hari, biasanya juga masuk sekolah di Sekolah Dasar pada pagi harinya, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan.

Labih jauh Guru Hatim, menjelaskan, setelah meluluskan madrasah swasta biasanya mereka juga meluluskan Sekolah Dasar di kampungnya dan meneruskan ke tingkat yang lebih tinggi pada Pondok Pesantren di ibu kota kabupaten namun tidak menggunakan kurikulum Depag.

Untuk mengatasi kendala Depag dalam mensukseskan wajar dikdas 9 tahun, ia menganjurkan agar para guru-guru pada sekolah swasta, khususnya yang memiliki murid yang tidak berijazah sesuai kurikulum Pemerintah ataupun kurikulum Depag agar menyediakan atau menyelenggarakan kegiatan belajar Paket B dan Paket C guna membantu pemerintah dalam mensukseskan wajar dikdas 9 tahun.

Soal Penyusunan RPP Pendidikan Keagamaan

JAKARTA - Departemen Agama dan Depdiknas yang saat ini tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah Pendidikan Keagamaan (RPP Pendidikan Keagamaan) yang senapas dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) hendaknya arif dan bijaksana dalam menempatkan penyelenggaraan pendidikan keagamaan di Indonesia. "Masuknya secara eksplisit madrasah dan pesantren dalam UU Sisdiknas hendaknya tidak dijadikan komoditas bagi pemerintahan untuk mengatur penyelenggaraan dan pengelolaannya," ujar pakar pendidikan Dr Muhamad Ridwan kepada Pembaruan di Jakarta, Jumat (13/2).


Sementara itu, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Fuad Fanani, melihat hegemoni negara kembali tercermin dalam RPP Pendidikan Keagamaan. "RPP itu hampir sama dengan UU Sisdiknas dan RUU Kerukunan Umat Beragama. Betapa kentalnya intervensi negara dalam kehidupan publik. Padahal, negara seharusnya menumbuhkan kesadaran kritis bukan membelenggu," ujarnya. Dikatakan, Depag dan Depdiknas harus mampu melakukan dialog dengan semua komponen, sehingga produk PP tidak lagi mendapat perlawanan dan resistensi begitu besar di tengah masyarakat seperti UU Sisdiknas. "Teman-teman JIMM siap bergabung dengan komponen lainnya menentang setiap bentuk hegemoni negara kepada masyarakat," katanya.


Menurut Muhamad Ridwan, di samping menempel dalam pasal-pasal tentang jenjang pendidikan yang salah satunya menyebut madrasah dan pesantren tercantum dalam satu pasal khusus, diatur oleh Departemen Agama, hendaknya hal ini tidak diimplementasikan mengatur secara administratif oleh negara. Dalam naskah UU Sisdiknas, pendidikan keagamaan diatur pada pasal 26 yang secara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu, dimasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalam pasal-pasal yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan.


"Peraturan Pemerintah tersebut berlaku untuk semua warga negara tanpa membedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkan secara eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agama tertentu. Jangan sampai terkesan negara membelenggu pendidikan keagamaan. Atau bila hal tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap jenis dan jenjang pendidikan yang berciri khas agama
tertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang sekolah yang sangat khas yang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat dicantumkan semua," ujarnya.


Ditegaskan UU Sisdiknas sesungguhnya sudah cukup mengakomodasikan pendidikan keagamaan sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat spesifik, menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agama tertentu menjadi tidak perlu. Namun, dalam RPP sebaiknya Depag dan Depdiknas tidak lagi mengatur secara khusus sehingga membuat pesantren atau sekolah pendidikan keagamaan merasa terkooptasi oleh negara.


Dijelaskan, sejak dahulu dan kemudian berlanjut sampai sekarang secara sadar kita semua mengalami kekacauan dalam tata nama jenjang pendidikan pada jalur pendidikan sekolah. Sebelum UU No 2 Tahun 1989 dan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun diberlakukan, Pemerintah menamai jenjang pendidikan terendah sebagai sekolah dasar (SD), kemudian jenjang berikutnya sekolah menengah pertama (SMP), lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan nama-nama khusus bagi sekolah menengah kejuruan.


Dalam perkembangannya, setelah UU No. 2 tahun 1989 dan Wajar Dikdas diberlakukan, nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), SMA menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU), dan sekolah-sekolah kejuruan cukup dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).


Walaupun dasar penggantian nama SMP menjadi SLTP adalah karena SMP merupakan bagian dari pendidikan dasar, nama baru ini tetap mencerminkan kekacauan berpikir karena nama SLTP mengesankan adanya jenjang di atasnya yang bernama SLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua) dan seterusnya. Mestinya, nama yang tepat adalah Sekolah Dasar Lanjutan (SDL) yang menunjukkan dengan jelas kedudukan jenjang pendidikan tersebut dalam sistem pendidikan nasional kita.


Anehnya, dalam naskah UU Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri atas enam tingkat (pasal 17 ayat 2), kemudian Pendidikan menengah tingkat pertama berbentuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang sederajat dan 'Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdiri atas tiga tingkat' (Pasal 19 ayat 2 dan 3). Berikutnya, dalam pasal 20 ayat 3 disebutkan bahwa 'Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA)', dan pada ayat 4 'Pendidikan menengah vokasional berbentuk Sekolah Menengah Vokasional (SMV).


Pendidikan anak usia dini

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.


Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.


Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu :

  1. Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
  2. Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.

Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.


Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini :

  • Infant (0-1 tahun)
  • Toddler (2-3 tahun)
  • Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
  • Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)

PAUD yang Kian Diminati Ibu-ibu

Oleh Yoga Putra

Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo, Mbah Kromo menyang Solo, oleh-olehe wedhus Jowo, Pak Injit cilolobah, wong mati ora obah, nek obah medeni bocah, nek urip golek-o duit

Riuh tawa dan tepuk tangan ibu-ibu bergemuruh di Balai Desa Gerbosari, Samigaluh, Kulon Progo, ketika menyaksikan Salsabila (3) lantang menyanyikan lagu dolanan anak Sluku-sluku Bathok. Putri kedua Ny Siti Tatiroh (35) ini tampil cantik di atas pentas dengan baju warna merah muda kebanggaannya.

Dalam acara Gebyar PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) se-Kecamatan Samigaluh, Rabu (30/4), Salsabila tidak tampil sendiri. Ratusan anak unjuk kebolehan di panggung Balai Desa Gerbosari. Ada yang menyanyi, menggambar, dan menari.

"Sekarang anak saya lebih 'pe-de' (percaya diri), enggak seperti dulu yang amat pemalu," tutur Siti yang tak henti-hentinya mencium gemas pipi Salsabila.

Keberanian Salsabila untuk tampil di muka umum muncul setelah bergabung dengan pos PAUD Fajar Imani di Dusun Kaliduren, Kebonharjo. Di dusun yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat kecamatan Samigaluh ini, pos itu sudah hadir sejak empat tahun lalu.

Siti mengaku, awalnya tidak terlalu tertarik untuk mendaftarkan anaknya kelak ke pos PAUD. Ia mengira pos tersebut sama seperti taman bermain biasa, lagi pula sepertinya biaya masuknya mahal. Namun, ternyata ia salah.

"Di pos, anak-anak tidak dipungut biaya apa pun, paling-paling hanya Rp 1.000 untuk satu kali pertemuan tiap minggu. Itu untuk pengganti makanan dan alat-alat bermain," tutur wanita yang menyambi kerja sebagai buruh tani ini.

Selain itu, ia melihat perbedaan antara anak-anak yang belajar di pos PAUD dan yang diasuh sendiri oleh ibunya. Anak-anak lulusan pos tampil lebih ceria, berani, kreatif, mampu bersosialisasi, dan lebih mudah menerima pelajaran di tingkat taman kanak-kanak sebelum ke sekolah dasar.

Tanpa ragu lagi, Siti segera mendaftarkan Salsabila sejak awal tahun ini. Ia boleh berbangga, baru empat bulan bergabung, Salsabila sudah menjelma jadi bintang panggung dalam acara Gebyar PAUD Samigaluh, Rabu kemarin.

Ika Nurhayani dan Puji Astuti, pengajar PAUD Galuh Siwi, Gerbosari, menambahkan, saat ini semakin banyak masyarakat yang sudah merasakan manfaat keberadaan lembaga itu. Sosialisasi manfaat secara getok tular (dari mulut ke mulut) membuat banyak ibu mulai mendaftarkan anak ke pos terdekat.

Menurut Ika, sistem belajar yang diterapkan di pos tersebut mendukung proses peningkatan kecerdasan dan pembentukan kepribadian dalam masa tumbuh-kembang anak di usia 0-6 tahun. "Pada usia ini daya serap anak terhadap berbagai pengetahuan amat tinggi, sehingga apabila diarahkan secara positif, anak akan tampil prima," tuturnya.

Ketua Forum PAUD Samigaluh Jawadi menuturkan, besarnya minat masyarakat juga diperlihatkan dengan banyaknya pos yang muncul. Tahun ini Samigaluh memiliki 22 pos PAUD yang tersebar di tujuh desa, tahun lalu hanya 13.

Di seluruh Kulon Progo, jumlah PAUD sudah mencapai 242 buah. Meskipun demikian, menurut Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat Dinas Pendidikan Kulon Progo Harijana, jumlah PAUD yang tersedia baru bisa melayani 11.482 anak usia dini atau baru sekitar 34,3 persen dari total jumlah anak usia dini di Kulon Progo.

Permintaan masyarakat untuk membentuk PAUD baru pun terus mengalir. "Respons ini cukup menggembirakan. Ini berarti sudah jadi kebutuhan masyarakat," ujar Harijana.

Partisipasi PAUD Terus Ditingkatkan

JAKARTA, RABU - Stimulasi pendidikan untuk anak usia dini akan terus semakin ditingkatkan dengan berbasis pada masyarakat dan keluarga.


Pemerintah menargetkan tahun 2009 nanti sebanyak 53,9 persen dari 28,3 juta anak usia 0-6 tahun dapat menikmati layanan pendidikan anak usia dini. "Investasi untuk PAUD (pelayanan anak usia dini) itu sangat besar untuk masa depan anak. Pemerintah menyadari hal ini dan mulai instensif mengembangkan PAUD yang berbasis masyarakat dan keluarga di seluruh wilayah Indonesia," kata Gutama, Direktur PAUD Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Rabu (23/4).


Psikolog Universitas Indonesia, Soemiarti Patmonodewo, mengatakan intervensi anak usia dini penting untuk mengoptimalkan perkembangan anak, khususnya bagi anak yang berasal dari keluarga kurang beruntung. Layanan untuk anak usia dini ini perlu dilakukan secara komprehensif pada kesehatan, gizi, dan pendidikan anak. "Semakin awal semakin baik. Apalagi jika konsentrasi layanan PAUD ini dilakukan keluarga karena cara ini paling efektif untuk kesinambungan perkembangan anak," kata Soemiarti.


Baru Separuh Jumlah Anak Terlayani PAUD

GUNUNG KIDUL, KAMIS — Pendidikan Anak Usia Dini atau PAUD berperan penting dalam penentuan pola pikir anak pada usia emas 0-4 tahun. Namun, PAUD masih cenderung ditelantarkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Hingga kini, baru separuh dari total 29 juta anak usia dini di Indonesia yang telah terlayani oleh PAUD.


Tahun ini, menurut Direktur PAUD, Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal, Departemen Pendidikan Nasional, Sujarwo Singowidjojo, pemerintah menargetkan pembentukan 16.800 PAUD baru dengan target utama rintisan di 50 kabupaten termasuk Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta.


Tiap kabupaten tersebut, lanjut Sujarwo, akan memperoleh bantuan dana senilai rata-rata Rp 3 miliar untuk pengembangan PAUD. Fasilitasi pemerintah daerah di Indonesia dinilai masih kurang terutama dalam mendukung pendanaan bagi operasional PAUD maupun honor tutor dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).


Honor tutor dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), misalnya, baru saja naik dari Rp 50.000 menjadi Rp 100.000 per bulan yang diberikan bagi 50.000 tutor dari total 160.000 tutor. "Kami mengimbau tiap bupati untuk menggalakkan program PAUD dengan dukungan APBD," kata Sujarwo ditemui di sela launching PAUD Unggulan di PAUD An Nur, Karangmojo, Kamis (26/2).


Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DI Yogyakarta Suwarsih Madya dalam sambutan tertulisnya menyatakan terus berupaya menyosialisasikan PAUD ke seluruh lapisan masyarakat. Total jumlah siswa yang duduk di Taman Pendidikan Anak, Kelompok Bermain, dan Satuan PAUD Sejenis di DIY adalah 64.651 anak dengan 6.805 tutor.


PAUD An Nur didaulat menjadi pusat unggulan PAUD Gunung Kidul dan memperoleh bantuan block grant dari pemerintah pusat senilai Rp 150 juta. Pengurus PAUD An Nur, Alifatun, mengatakan, pendanaan operasional PAUD selama ini mengandalkan bantuan dari donatur serta subsidi silang dari orangtua murid.


Sujarwo menambahkan, kualitas hidup manusia ditentukan pada sejauh mana kualitas pendidikan di usia dini. Kemampuan kognitif justru berkembang pesat pada usia 0-4 tahun. "Di tangan para tutor, perbaikan generasi muda bangsa ini ditentukan," tambahnya.


Bupati Gunung Kidul Suharto mengakui bahwa pembentukan perilaku dan sikap dimulai sejak usia dini. Saat ini, baru sekitar 51 persen anak di Gunung Kidul mengenyam PAUD. Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul berupaya terus meningkatkan kualitas pendidikan dengan pendanaan dari APBD senilai Rp 318 miliar untuk pendidikan.


Anak Usia Emas Andalkan PAUD Nonformal

JAKARTA, SELASA - Layanan pendidikan bagi anak usia emas 0-6 tahun atau dikenal dengan pendidikan anak usia dini terus ditingkatkan. Hingga akhir tahun lalu, sebanyak 48,32 persen dari total 28,24 juta anak usia 0-6 tahun terlayani di PAUD formal dan nonformal.


Mudjito AK, Direktur Pembinaan SD dan TK Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Selasa (4/11), mengatakan perluasan akses anak-anak usia TK dilakukan dengan menyediakan TK di setiap kecamatan atau menyelenggarakan TK di SD yang sudah ada atau sekolah TK-SD satu atap. Anak usia dini yang terlayani PAUD formal dan nonformal meningkat dari tahun 2004 yang berjumlah 39 persen menjadi 48 persen lebih.


Layanan PAUD ini kini berkembang secara nonformal hingga ke tingkat RT/RW. Anak yang dilayani di jenjang TK/Raudhatul Athfal (RA) atau PAUD formal berjumlah 4,2 juta, sedangkan di PAUD nonformal sebanyak 6,8 juta.


Luluk Asmawati, Dosen PAUD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta, mengatakan kesadaran mengenai pentingnya mengoptimalkan PAUD dari pemerintah, orang tua, dan masyarakat yang terlihat meningkat. Namun, jangan sampai layanan PAUD yang diberikan kepada anak usia 0-6 tahun itu terfokus pada target supaya anak bisa cepat membaca, menulis, dan menghitung semata.


Luluk mengatakan dalam usia emas itu yang dibutuhkan anak adalah stimulasi yang tepat dan menyenangkan untuk mengembangkan beragam kecerdasan atau multiple intelligence. "Anak jangan di-drill untuk membaca, menulis, dan menghitung dengan paksa. Sebab, otak anak akan jenuh, malah nantinya di usia belajar dia tidak punya minat lagi untuk belajar," ujar Luluk.


Jumat, 27 Februari 2009

Anak-anak Jalanan yang Berayahkan "Kucing Garong"


JAKARTA, SELASA — Sebutan anak-anak Master (masjid terminal) menjadi kebangaan tersendiri bagi anak-anak yang tinggal di masjid terminal. Nama masjid terminal itu adalah Masjid AI Muttaclien, tempat Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Yayasan Bina Insan Mandiri (Yabim) yang memang berada di areal Terminal Kota Depok.

Pendidikan gratis ditawarkan Yabim untuk tingkat TK sampai SMA, termasuk untuk program Paket A sampai Paket C. Sekolah ini dirintis oleh remaja masjid yang tergabung dalam Ikatan Remaja .Masjid Al Muttagien (Ikrima) pada tahun 2001. Awalnya untuk SMP saja masih bersifat informal. "Sebagai bentuk dauroh atau pendidikan tentang akhlak saja," kata Wirawan Godek (24), pengamen yang kini menjadi relawan di sekolah itu beberapa waktu lalu.

Dari pengurus remaja Masjid Al Muttaqien inilah muncul pria bernama Nurohim yang dikenal sebagai motor komunitas Master. Melalui Yabim yang bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan, komunitas Master dikenal berbagai kalangan dari perusahaan sampai perguruan tinggi ternama.

Nurohim terus mengembangkan sekolah gratis bagi anak-anak jalanan, pemulung, pengasong, dan sebagainya. "Mereka adalah kaum marginal, yang terpinggirkan," katanya.

Apa yang dikerjakan Nurohim terus berkembang hingga kini operasional pendidikan dan kesehatan membutuhkan biaya operasional Rp 20 juta - Rp 25 juta sebulan biayanya didapat dari bantuan berbagai pihak. Dalam satu bulan klinik di sana bisa memberi pengobatan gratis kepada 600-700 orang miskin.

Kalau hanya untuk pendidikan saja, sebenarnya Yabim sanggup menampung 5.000 anak yang belajar sampai gratis di jenjang SMA. Saat ini dari TK, SD, sampai SMA dibuka untuk pagi dan siang hari. Siang hari, diprioritaskan untuk SMA. Kemudian pada malam hari pukul 20.0022.00 giliran kelas malam yang dltkuti pembantu rumah tangga, tukang sapu, pelayan toko, pengasong, dan sebagainya. "Nah ini usianya yang sudah 'kedaluwarsa'. Kelas ini kami tambah juga dengan pelajaran life skill, dari soal otomotif sampai sablon," katanya.

Yabim kini mengelola sekolah formal dan nonformal mulai TK PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sebanyak 200 anak, SD sebanyak 400 anak, SNIP sebanyak 600 anak, dan SMA sebanyak 800 anak. Jumlah ini, kata Nurohim, terus bertambah apalagi Yabim berlokasi di tengah terminal. ' Tidak ekslusif, tidak formal dan jauh dari birokrasi sehingga membuat anak-anak nyaman," katanya.

Anak-anak yang mau belajar dan tidak tertampung di PKBM Yabim, oleh Nurohim disalurkan ke mitra di beberapa pondok pesantren. Yabim juga bisa menyalurkan tanggung jawab sosial perusahaan untuk pendidikan bagi anak-anak miskin ke mitra lembaga pendidikan lainnya.

Menurut Nurohim, anak-anak jalanan cenderung trauma dengan birokrasi dan sikap antipati terhadap pemerintah. Bila perlu selama hidupnya tidak memasuki kantor-kantor pemerintah. "Karena mereka tahu yang dilayani hanya yang punya duit. Mereka juga menjadi korban dan dikejar-kejar. Makanya begitu ada sekolah dan obat gratis, bagi mereka luar biasa," katanya.

Selain mengadakan pendidikan gratis, Yabim juga melakukan pemberdayaan kesehatan bagi orang tak mampu melalui Klinik Madani Yabim. Termasuk advokasi bagi anak-anak yang menghadapi masalah menyangkut pelayanan pendidikan atau pelayanan kesehatan. Permasalahan klasik yang kerap dihadapi Yabim, hampir separuh muridnya adalah mereka yang tidak bisa mengambil ijazah di sekolah asalnya karena masih menunggak biaya sekolah. "Kalau sekolah negeri yang menahan ijazah saya tidak akan beri ampun. Walau hanya sekadar fotokopi ijazah saja.. Bagaimana kalau mereka nanti berhasil dan man maju kalau tidak ada lembar ijazah. Relawan saya dari SMAN 1 dulu diterima di UNJ dengan meminta fotokopi ijazah," tuturnya.

"Tapi kalau sekolah swasta saya yang agak repot, harus memohon-mohon. Kalau ada uang ya saya tebus, kalau tidak kadang perlu digertak juga sekolah-sekolah yang menghambat pendidikan anak dengan menahan ijazah," ujarnya.

Soal advokasi, Nurohim menyatakan pihaknya tidak memandang apakah penduduk legal Depok atau bukan. Siapa saja yang membutuhkan dibantu. Biasanya ia memperjuangkan yang tidak memiliki KTP Depok di bidang kesehatan dan pendidikan melalui lembaga-lembaga zakat yang ada, seperti Baznas, Rumah Zakat, dan Dompet Dhuafa.

Dari kerja sama dengan berbagai pihak, Yabim tidak menerima apa-apa. Tetapi Yabim menywarkan "produk" mereka seperti tenaga siap pakai untuk Satpam, petugas cleaning service, sampai pembantu rumah tangga.

Kegiatan Yabim mulanya di rumah Nurohim yang terus dikembangkan hingga memanfaatkan lahan seluas 3.700 meter persegi, 700 meter persegi di antaranya fasum-fasom terminal. Meski demikian Yabim masih dililit piutang untuk membebaskan lahan dan bangunan, ganti rugi lapak, konsumsi guru yang kini tersisa piutang sebesar Rp 65,7 juta.

Belum lagi jika anak-anak jalanan ditangkap petugas Satpol PP. Atau ibunya yang ditangkap sedangkan anak-anaknya hanya bisa menangis di kantor Yabim.

Anak-anak di Komunitas Master kebanyakan "anak kucing garong". Banyak anak yang ayahnya adalah "Bang Thoyib". "Ini yang membuat batin saya gelisah," ujar Nurohim. Apalagi ketika ia meminta anak-anak jalanan yang kena razia dilepas ia malah dimintai duit karena dituduh sebagai bos yang terima setoran duit anak-anak jalanan.

Kejati DKI Tangkap Tersangka di Depdiknas

JAKARTA, SELASA - Penyidik Bagian Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Selasa (4/11) dini hari tadi menangkap tersangka kasus korupsi dalam program International Guiding License.

Faisal Madani, kepala bagian perencanaan di Ditjen Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional, ditangkap tim penyidik sekitar pukul 02.00 di kawasan Pamulang, Tangerang, Banten.

Humas Kejati DKI Jakarta Mustaming kepada Kompas, Selasa pagi mengatakan, Faisal ditangkap di rumahnya di kawasan Pamulang itu, setelah sekian lama tak memenuhi panggilan penyidik.

"Ia ditetapkan sebagai tersangka pada 24 Juli 2008. Namun, tak juga memenuhi panggilan penyidik. Tadi dini hari, penyidik menangkapnya," kata Mustaming.

Faisal saat ini masih diperiksa di Kejati DKI Jakarta. Mustaming menyampaikan, kemungkinan Faisal akan ditahan setelah pemeriksaan selesai. Sebelumnya, pada 17 September 2008, Kejati DKI Jakarta menahan Ace Suryadi, mantan Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional.

Dia ditahan di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Saat itu, Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Muhammad Yusuf menjelaskan kepada Kompas, penetapan Ace sebagai tersangka berkaitan dengan korupsi pengelolaan program ICGL.

Ia dinilai bertanggung jawab dalam kasus pengelolaan program ICGL, yang bekerja sama dengan pihak swasta tersebut. Penunjukan pihak swasta itu tidak melalui lelang, sehingga dinilai tak memenuhi kualifikasi. Akibatnya, sasaran dalam program yang dilaksanakan tahun 2006 itu tidak tercapai.

41 Juta Pekerja Informal Belum Miliki Jaminan Sosia

JAKARTA, KAMIS-Sekitar 41 juta pekerja di sektor informal selama ini tidak tercover oleh program jaminan kesejahteraan sosial atau asuransi .

Padahal Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk mengemban sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah, dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

"Agar pekerja sektor informal seperti tukang ojek, pedagang jamu, pedagang makanan, buruh tani dan nelayan tidak jatuh ke level kemiskinan, Departemen Sosial menawarkan Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos). Aksesos pada prinsipnya adalah program perlindungan atau asuransi sosial kepada para pekerja mandiri di sektor informal yang meliputi pembiayaan," kata Direktur Jaminan Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI, Akifah E, Kamis (23/10) di Jakarta.

Data Pusdatin Departemen Sosial per 2006 menyebutkan, rumah tangga miskin di 33 provinsi di Indonesia mencapai 19,10 juta keluarga atau 76 juta jiwa (dengan asumsi 4 jiwa per keluarga). Jumlah ini setara dengan 35 persen dari total populasi Indonesia. Jika yang 41 juta pekerja sektor informal ini tidak diberikan program Askesos, mereka bisa jatuh ke level rumah tangga miskin.

Akifah menjelaskan, Askesos baru diterapkan menyeluruh sejak tahun 2007, sedangkan ujicoba sudah ada sejak 1987. Lalu karena Presiden Gus Dur membubarkan Departemen Sosial, program ini bubar. Baru tahun 2003 kemudian diujicobakan lagi. Hingga September 2008, program Askesos berhasil mencakup 144.600 kepala keluarga dengan 671 lembaga pelaksana Askesos. Tahun 2009 ditargetkan peserta Askesos mencapai 60.000 kepala keluarga dengan 300 lembaga pelaksana.

Untuk jadi peserta Askesos ini, Afikah melukiskan, peserta hanya diwajibkan membayar premi Rp5.000 per bulan. Premi ini sekaligus juga sebagai tabungan, jika tak dilakukan klaim, sehingga memberikan perlindungan ekstra di masa datang.

"Jika ada klaim, untuk peserta yg sakit dapat Rp100 ribu. Sedangkan yang meninggal dapat Rp200 ribu jika masuk tahun pertama, Rp400 ribu jika masuk tahun kedua, dan Rp600 ribu jika masuk tahun ketiga. Yang ditanggung Askesos bukan biaya perawatan, tapi biaya makan," jelasnya.

Sedangkan model Askesos yang baru, yang diujicobakan di 10 provinsi, biaya klaim dinaikkan, misalnya jika meninggal bisa dapat asuransi Rp400 ribu sampai Rp1 juta, tapi dari Rp5.000 itu premi yang hilang Rp1.500. Artinya, yang ditabung oleh peserta dari Rp 5000 premi per bulan adalah Rp3.500.

Menurut Direktur Jamkesos ini, dengan mengikuti Askesos, kelompok masyarakat yang bekerja di sektor informal mendapat perlindungan sosial yang sama dengan kelompok masyarakat lain yang bekerja di sektor formal. Selain itu, dengan belajar asuransi plus menabung ini, kelompok masyarakat informal ini diharapkan memperoleh tahapan kesejahteraan sosial yang lebih baik secara jangka panjang.

Askesos ini, lanjut Afikah, baru memperkenalkan bagaimana mereka peduli dengan asuransi, bagaimana merubah sikap mental masyakat pekerja sektor informal. Ini dalam taraf pendidikan buat masyarakat. Walaupun demikian, di Sulawesi Tengah, ada organisasi soial pelaksana yang berinisiatif mengikutsertakan peserta Askesos ini untuk program Jamsostek.

Biaya klain Askesos ini berasal dari APBN, sekitar Rp22 miliar, termasuk juga untuk program Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen (BKSP), bagi anggota masyarakat miskin yang masuk kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), seperti lanjut usia, penyandang cacat mental dan fisik, dan penyandang psikotik atau eks penyakit kronis yang terlantar.

"Keberhasilan program ini tergantung daerah, bagaimana ia merekrut organisasi/lembaga sosial yang kredibel sebagai pelaksana/pengelola Askesos," jelas Afikah.

"Homeschoolers", Bisa Kuliah juga, Kok...

Sekolah rumah atau homeschooling, terutama di kota-kota besar, mulai populer. Apa sih homeschooling?

Singkatnya, homeschooling itu metode pendidikan belajar-mengajar yang dilakukan di rumah, baik oleh orangtua maupun tutor. Sebenarnya sih enggak harus di rumah. Intinya, mereka yang menjalani homeschooling harus bisa belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja.

Materi pelajaran buat siswa homeschooling atau homeschoolers itu bisa sesuai dengan kurikulum nasional (sama dengan yang dipelajari abu-abuers di sekolah formal), kurikulum internasional, atau gabungan. Waktu belajarnya lebih fleksibel, jadi biasanya homeschoolers punya banyak kesempatan mendalami bidang pelajaran sesuai minat dan potensi masing-masing.

Pendidikan homeschooling bisa dilakukan satu keluarga, beberapa keluarga, atau bergabung dalam komunitas homeschooling. Karena keberadaannya sebagai salah satu bentuk pendidikan informal diakui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, kamu enggak usah khawatir soal ijazah.

Peserta homeschooling seusia siswa SMA bisa ikut ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK) Paket C, setara SMA. Kamu bisa ambil UNPK IPA dan IPS yang diselenggarakan dua kali setahun, pada Juli dan November.

Ada juga sih yang ikut ujian nasional (UN) di sekolah formal. Misalnya di Komunitas Sekolah Rumah Pelangi, Tangerang, homeschoolers punya dua pilihan. Mereka bisa ikut UNPK Paket C yang biayanya lebih murah, atau ikut UN SMA yang artinya bergabung dan bayar uang pendaftaran di suatu sekolah agar dimasukkan sebagai siswa yang berhak ikut UN.

Apa lulusan homeschooling enggak didiskriminasi? Seharusnya sih enggak boleh ada diskriminasi. Kan, dijamin undang-undang. Lagi pula, UNPK Paket C yang diikuti homeschoolers juga diselenggarakan Badan Standar Nasional Pendidikan, penyelenggara UN. Standar nilai kelulusannya pun sama.

Alternatif

Buat mereka yang sibuk berkarier selain sekolah, seperti pemain sinetron yang hampir tiap hari shooting, homeschooling menjadi pilihan menarik. Atlet yang harus konsentrasi berlatih dan bertanding enggak usah khawatir bakal enggak bisa namatin sekolah karena tersedia pendidikan yang bisa menyesuaikan jadwal peserta.

Lha, abu-abuers yang bukan figur publik, apa alasannya ber-homeshooling?

Michael Tumiwa (19), warga Pamulang, Tangerang, bergabung dengan homeschooling Kak Seto karena stres berada di lingkungan sekolah formal yang pergaulannya bisa berdampak negatif buatnya.

”Rasanya enggak konsentrasi sekolah karena banyak teman pakai narkoba. Aku merasa enggak nyaman di sekolah. Pas kelas III SMA, aku keluar, ikut homeschooling,” kata Michael yang sejak 2007 menjadi mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta.

Biar dari homeschooling, dia enggak merasa beda dengan teman-teman lain lulusan sekolah formal. Sebagai homeschooler, Michael juga belajar bidang studi yang sama seperti saat dia menjadi siswa SMA jurusan IPS.

”Asyiknya, waktu dan cara belajar homeschooling fleksibel, tapi bukan berarti seenaknya. Justru aku harus bisa belajar sendiri. Tiap Senin dan Rabu selama dua jam aku datang ke homeschooling Kak Seto, bertemu teman-teman dan tutor sambil belajar bersama. Selebihnya, belajar sendiri di rumah,” tutur Michael yang hobi main gitar ini.

Karena enggak harus sekolah tiap hari, dia jadi punya waktu menjadi guru privat gitar. Selain menyalurkan hobi, sekalian dapat duit. Urusan pendidikan pun enggak terbengkalai.

Ivan Rizki (19), mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations, juga lulusan homeschooling Kak Seto. Bagi Ivan, homeschooling adalah harapan terakhir untuk menyelesaikan SMA.

”Aku beberapa kali pindah sekolah di SMA yang bonafide. Tapi aku enggak cocok dengan cara belajar di sekolah formal yang serba ngikutin aturan. Aku enggak nyaman belajar di sekolah. Terus, aku baca di media bahwa ada homeschooling. Aku jadi bersemangat buat menyelesaikan SMA-ku dengan cara yang lebih sesuai buatku,” ujar Ivan.

Kebutuhan individu

Apa yang dialami siswa seperti Ivan, dalam pandangan Seto Mulyadi, Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif, memerlukan metode pendidikan sesuai kebutuhan individu.

Siswa yang punya kendala psikologis (mudah stres dan tertekan belajar di sekolah), geografis (tempat tinggal jauh dari sekolah), dan ekonomis (dari keluarga tak mampu), bisa menemukan alternatif pendidikan dengan homeschooling yang umumnya fleksibel, menyesuaikan dengan minat dan potensi tiap individu.

Ivan bercerita, sebagai homeschooler, tak berarti dia bebas dari kewajiban belajar seperti di sekolah. ”Dengan homeschooling, aku lebih bisa menerima pelajaran. Aku punya jadwal belajar, dan itu dipantau para tutorku,” katanya.

Saat mendaftar perguruan tinggi, Michael dan Ivan enggak mengalami kesulitan meski mereka lulusan Paket C. Mereka yang mau ikut seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) juga enggak ditolak meski berijazah Paket C. Ada juga, kok, homeschoolers yang diterima di perguruan tinggi negeri seperti Universitas Indonesia.

Gilang Pratama (17), homeschooler yang bergabung dengan Komunitas Homeshooling Berkemas di Jakarta, sedang menyiapkan diri ikut UNPK Paket C IPA. Ia belajar diselingi main piano yang jadi hobinya.

Kata Gilang, dia memutuskan ikut homeschooling pada Januari lalu, sekembalinya dari program homestay di negeri Paman Sam selama setahun. Gilang mesti balik lagi di kelas dua pada sekolah lamanya.

”Aku rugi setahun dong. Terus, aku dapat informasi, pendidikan homeschooling sudah ada dan diakui,” ujar Gilang yang bakal bertolak ke Jerman guna kuliah di bidang komputer.

BANTUAN PENDIDIKAN PTK-PNF

Untuk meningkatkan sumberdaya manusia yang ada di lingkungan Pendidikan Nonformal dan Informal, direktorat PTK–PNF memberikan rangsangan untuk tenaga pendidik dan kependidikan berupa bantuan pendidikan baik pada jenjang S1 dan S2 hingga S3. Guna memudahkan masyarakat mengakses informasi tentang bantuan pendidikan PTK-PNF, sosialisasi dan pengumuman penerimaan bantuan pendidikan melalui Website BPPNFI Regional IV, yaitu Bpplsp-reg4.go.id

Dampak dari sosialisasi yang efektif sebanyak 426 berkas permohonan bantuan pendidikan yang diterima oleh Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional IV. Dalam penyaluran dana bantuan dikeluarkan 2 periode, periode pertama sebanyak 25 yang terbagi dalam program lanjutan (12 orang) dan baru (13 orang) dan periode kedua sebanyak 222 orang. Pemohon bantuan pendidikan berasal dari unsur PNS dan Non PNS Jawa Timur yang terdiri dari Pamong Belajar, Penilik, Pendidik PAUD, Kursus, Tutor Kesetaraan Paket B dan C, Tenaga Lapangan Dikmas (TLD), dan tenaga adminitrasi. Guna memudahkan seleksi panitia ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:

  1. Berstatus sebagai mahasiswa S1 dan S2 dari perguruan tinggi yang terakreditasi
  2. Memiliki indeks prestasi kumulatif (IPK) minimal 2,50 bagi S1 dan 2, 75 bagi S2
  3. Telah menjadi pendidik dan tenaga kependidikan ( PTK-PNF) minimal 1 ( satu ) tahun
  4. Bantuan pendidikan tidak berlaku bagi PTK-PNF yang sedang mengikuti pendidikan S1 melampui 8 semester dan S2 melampaui 5 sementer
  5. Lulus seleksi oleh BPPNFI Regional IV

Disamping itu calon penerima bantuan pendidikan PTK-PNF juga harus melengkapi dokumen, seperti :

  1. Permohonan pengajuan bantuan pendidikan oleh PTK-PNF yang bersangkutan
  2. Biodata peserta kualifikasi
  3. Surat pernyataan masih aktif sebagai PTK-PNF yang disyahkan oleh ketua lembaga
  4. Surat keterangan telah diterima atau masih aktif sebagai mahasiswa di perguruan tinggi yang terakreditasi dan disyahkan oleh pejabat Perguruan Tinggi
  5. Fotokopi Ijazah terakhir dan transkrip nilai yang telah dilegalisir
  6. Fotokopi bukti pembayaran SPP
  7. Fotokopi KRS dan KHS terkahir
  8. Pas Photo berwarna ukuran 3 x 4

Setelah melalui seleksi yang ketat dari Tim penilai yang berasal dari BPPNFI Regional IV dengan Komandai Ibu Dra.Endah Warsiati, M.Pd ditetapkan penerima bantuan terbagi dalam 8 unsur :

  1. Pendidikan PAUD sejumlah 107 orang dengan rincian 6 orang untuk jenjang S2 yaitu Mutafarriqoh, ST berasal dari TAPAS Al-Ikhlas Kota Surabaya, Siti Maisaroh, S.Pd Play Group Muslimat NU Khadijah I, Kab. Nganjuk, Sa’adah Nurul Auliya, S.Psi , Lilla Yustitia Prima Duhita Rosyidi, ST dan Din Arsanti Sekunda Firdause,S.Pi berasal dari Sekolah Alam Avesiena Malang, serta Hernora Indah Septiana berasal dari Kelompok Bermain Permata Hati Kota Malang.sedangkan jenjang S1 sejumlah 107 orang (bisa melihat website BPPNFI Regional IV).
  2. PTK-PNF Lain S1 sejumlah 1orang yaitu Imam Mustaqim dari SKB Kab. Ponorogo, untuk S2 sejumlah 6 orang, adalah Titik Suharti, S,Pd berasal dari Dinas P danK Kab. Ngawi, Dra. Susilo Suci Rahayu, SKB Trenggalek, Totok Purwanto, S.Pd dari Subdin Dikmas Dinas Pendidikan Kab. Bojonegoro, Ninik Suhartini,S.Pd berasal dari Subdin Dikmas Dinas Pendidikan Kab. Bojonegoro dan Tri Pangestuti, S.Pd PKBM Ki Hajar Dewantara, Kota Batu.
  3. Tenaga Lapangan Dikmas (TLD) 4 orang untuk jenjang S2, yaitu Mochamad Lutfi Rochman BPS Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya, Siti Chotipah Dinas P dan K Kota Batu, M. Nurzakun, S.Pd PKBM Wiyata Utama Kecamatan Gondang, Kab. Bojonegoro dan Damiati, S.Pd berasal dari UPTD Pendidikan Kecamatan Balen, Kab. Bojonegoro, jenjang S1 sejumlah 3 orang yaitu M. Sjaifurridjal UPTD Pendidikan Kecamatan Mayang,kab. Jember, Mulyono UPTD Pendidikan Kec. Sukowono, Kab. Jember dan Sukamto berasal dari UPTD Pendidikan Kec. Latrang, Kab. Jember.
  4. Pendidikan Kursus jenjang S2 sejumlah 11 orang, untuk jenjang S1 sejumlah 15 orang 
  5. Tutor Kesetaraan dan Keaksaraan untuk jenjang S2 sejumlah 25 orang, jenjang S1 yang menerima sejumlah 18 orang .
  6. Pamong Belajar bantuan pendidikan diberikan untuk jenjang S3 yaitu Drs. Bambang Heri Susanto berasal dari SKB Kabupaten Malang serta 6 orang untuk jenjang S2 yaitu Haryantini, S.Pd dan Dwi Retno Juliati, SE berasal dari SKB Kab. Bondowoso, Dra. Sri Winarni dan Drs. Budhiarto dari SKB Kab. Magetan dan Enti Sumarni, S.Pd berasal dari SKB Kab. Ponorogo serta Edi Sukarni, S.Sos dari SKB Kab. Pacitan.
  7. Penilik untuk jenjang S1 hanya satu orang yaitu Hj. Siti Masithoh, BA berasal dari Dinas Pendidikan Daerah Kota Blitar, 7 orang mendapat bantuan untuk jenjang S2, yaitu Dra. Endang Retno Ernawati, UPT TK SD Kecamatan Pacitan, Kab. Pacitan, Moch. Yanto dan Heny Kristanty berasal dari Dinas P dan K Kota Batu, Djoko Edhy Karjanto, S.Pd dari Unit Pendidikan Kecamatan (UPK) Kecamatan Pule, dan Sulani, S.Pd Kecamatan Trenggalek, serta Winarko, S.Pd Kecamatan Pogalan Kab. Trenggalek, dari Kecamatan Bojonegoro, Kab. Bojoregoro yaitu Wahyu Hidayat S,Pd.
  8. BPPNFI Regional IV bantuan pendidikan diberikan pada jenjang S3 dan S2. Untuk S3 yaitu Ir. Triana JDTS, M.Pd, sedangkan jenjang S2 adalah Sunaryo, S.Sos, Moh. Subakir, S.Sos, Yusuf Mualo, S.Pd, Drs. Budi Setyono.

Dengan adanya perhatian pemerintah untuk pendidik dan tenaga kependidikan melalui bantuan pendidikan PTK-PNF kedepan sumber daya manusia Pendidikan Nonformal dan Informal semakin bermutu dan berkualitas sehingga dunia Pendidikan Nonformal dan Informal semakin terpercaya serta mampu bersaing di tingkat Nasional dan Internasional. Maju terus PNF dan selamat penerima bantuan Pendidikan. Lilik Rahayu Lestari, Karyawan BPPNFI Regional IV.

Pendidikan Luar Sekolah ( Pendidikan Non Formal )

Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS). 

Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi 

Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun. 

Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :

  1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini
  2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP
  3. Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional
  4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting)
  5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus
  6. Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Riau

Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :

  1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS
  2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil
  3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus
  4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat
  5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan

Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :

  1. Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah
  2. Pembinaan kelembagaan PLS
  3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat
  4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS
  5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS 

Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja. 

Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri.. 

Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. . 

Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. 

Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan. 

PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah.

Dana Pendidikan Nonformal Dipotong Rp 41,8 Miliar

Surabaya, Kompas - Dana pendidikan nonformal dan informal Jawa Timur dipotong sekitar Rp 41,8 miliar. Akibatnya, beberapa program peningkatan kualitas pendidikan seperti penghapusan buta aksara, dana hibah pendidikan luar sekolah, program penyetaraan wajib belajar sembilan tahun, dan pengembangan budaya baca dipastikan berkurang.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim Rasiyo mengatakan, pemotongan dana itu dipastikan akan mengurangi sasaran sejumlah program peningkatan pendidikan. "Program penghapusan buta aksara di pedesaan terpaksa akan dikurangi pesertanya," katanya di Surabaya, Senin (28/4).

Menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal Nomor 181 Tahun 2008, dana penghapusan buta aksara untuk Provinsi Jatim dipotong sebesar Rp 23 miliar dari Rp 63 miliar. Sasaran pun berkurang sekitar 5.000 orang. Padahal, jumlah penduduk buta aksara di Jatim masih menempati posisi tertinggi di Indonesia, yaitu sekitar 3,7 juta jiwa dengan usia 10 tahun ke atas.

Sementara pemotongan dana penyetaraan wajib belajar sembilan tahun menyebabkan program kejar Paket A atau program penyetaraan pendidikan setingkat SD ditiadakan. Adapun dana untuk program kejar Paket B dipotong sebesar Rp 4,1 miliar. Demikian juga dana kejar Paket C yang dipotong hampir setengahnya. Menurut data Badan Pusat Stastistik tahun 2006, terdapat 3,6 juta penduduk Jatim yang belum pernah mengecap bangku sekolah.

Program pengembangan budaya baca pun terkena dampak penundaan anggaran oleh Departemen Keuangan. Program ini mengalami pemangkasan hingga Rp 2,8 miliar dari dana yang tersedia sebelumnya, yaitu Rp 3,7 miliar. Akibatnya, sebanyak 125 taman baca masyarakat yang ditargetkan dibangun per tahun berkurang menjadi 63 buah saja.

Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Kota Surabaya Edi Santosa mengatakan, pemotongan sebesar Rp 6 miliar dari pengembangan kursus dan magang mengakibatkan dana hibah untuk lembaga pelatihan dan kursus dibekukan.

Pembekuan bantuan

Selama sebulan terakhir, bidang PLS telah menolak sebanyak empat pengajuan bantuan kursus yang meliputi kursus menjahit, pengobatan alternatif, kecantikan, dan komputer. "Pembekuan ini terpaksa kami lakukan, padahal program ini sangat berguna untuk penduduk putus sekolah," kata Edi.

Pemilik dan pengelola LPK Menjahit dan Bordir Sarasvati, Endang Srividodo, mengatakan bahwa penghapusan bantuan itu akan menghentikan kursus gratis yang selama ini ia selenggarakan untuk anak-anak putus sekolah dan belum bekerja di Kecamatan Sambikerep. 

Pendidikan Kesetaraan Ajarkan Kecakapan Hidup

JAKARTA, SELASA - Pendidikan kesetaraan untuk peserta yang terdaftar di institusi penyelenggara pendidikan ini diharapkan bukan sekedar mengejar ijazah. Dalam program pendidikan kesetaraan, pembelajaran kecakapan hidup dan kepribadian profesional justru perlu ditekankan untuk menyiapkan lulusannya siap memasuki dunia kerja.

”Pembelajaran di lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan kesetaraan seperti pondok pesantren, pusat kegiatan belajar masyarakat, atau sanggar kegiatan belajar dilakukan berdasarkan acuan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi peserta untuk bisa siap bekerja dan berwirausaha. Bahan ajar yang diberikan ke peserta juga sesuai dengan kondisi kehidupan sehingga mereka memiliki kecakapan untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan,” kata Ella Yilaelawati, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas di Jakarta, Selasa (8/7).

Menurut Ella, pendidikan kesetaraan Paket A atau setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA ini merupakan bagian dari pendidikan nonformal yang memberikan fleksibilitas kepada peserta untuk menjalani pendidikan sesuai minat dan kondisinya. Pendidikan kesetaraan sebenarnya bisa menjadi pilihan alternatif bagi individu dalam menjalani proses belajar sepanjang hayat.

Dalam kaitannya dengan program pemerintah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun untuk anak usia sekolah, pendidikan kesetaraan mampu berkontribusi sebanyak 4,6 persen pada angka partisipasi kasar (APK) SMP secara nasional.

Karena itu, pemerintah sendiri sudah mulai mensinergikan pendidikan formal di sekolah dan pendidikan nonformal di luar sekolah, termasuk pendidikan kesetaraan, untuk meluaskan akses wajib belajar sembilan tahun bagi warga yang memiliki kendala ekonomi, sosial, budaya, dan geografis untuk bisa menikmati pendidikan di sekolah-sekolah.

Buhai Simanjuntak, Ketua Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) mengatakan pembelajaran di lembaga pendidikan kesetaraan ini perlu ditingkatkan tanpa membuatnya menjadi kaku seperti di sekolah formal. ”Pendidikan kecakapan hidup memang perlu ditekankan. Sebab, yang ikut pendidikan kesetaraan ini kan masih banyak dari keluarga tidak mampu atau bekerja. Mereka ini butuh pendidikan yang bisa meningkatkan taraf hidup dan pekerjaan mereka,” kata Buhai.

Honor Tutor Naik

JAKARTA, JUMAT - Honor tutor atau tenaga yang melayani pendidikan nonformal mulai tahun 2009 naik walaupun masih di bawah jumlah yang layak. Honor tutor yang sebelumnya Rp 50.000 per bulan sekarang naik menjadi Rp 100.000 per bulan.

Tutor adalah tenaga yang melayani pendidikan anak usia dini (PAUD) atau pendidikan paket A (setara sekolah dasar), paket B (setara SMP), dan paket C (setara SMA/SMK). Tutor bisa juga instruktur kursus maupun pelatih keterampilan di daerah-daerah terpencil yang tidak terlayani pendidikan formal.

Erman Syamsuddin, Direktur Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal (PTK-PNF), di Jakarta, Kamis (12/2), mengatakan, keberadaan pendidik dan tenaga kependidikan di pendidikan nonformal masih belum dianggap penting oleh pemerintah daerah maupun masyarakat.

Honor Rp 100.000 per bulan diakui masih jauh dari layak. Kekurangan diharapkan dipenuhi dari pemerintah daerah atau masyarakat.

”Namun, penghargaan pemerintah daerah juga masih minim. Tutor dianggap penting, tetapi kesejahteraannya masih terabaikan,” kata Erman.

Dari sekitar 130.000 tutor atau tenaga pendidikan, baru sekitar 10 persen yang berstatus pegawai negeri sipil. ”Selama ini tidak ada standar dalam pemberian gaji atau kesejahteraan mereka,” ujarnya menjelaskan.

Dengan adanya kenaikan anggaran pendidikan 20 persen, peningkatan insentif juga diberikan kepada tutor atau pendidik yang melayani di institusi pendidikan nonformal. Mulai tahun 2009, pemerintah pusat menaikkan honor tutor PAUD dari Rp 50.000 per bulan menjadi Rp 100.000 per bulan. Insentif itu diberikan untuk 50.000 tutor PAUD informal.

Selain itu, bantuan insentif juga diberikan kepada penilik berupa insentif Rp 100.000 per bulan. Insentif ini diberikan untuk 6.955 penilik. Adapun untuk tenaga lapangan pendidikan masyarakat (TDL) dan fasilitator desa insentif (FDI) diberikan insentif Rp 850.000 per bulan.

Erman mengatakan, pemerintah daerah mesti memerhatikan peningkatan mutu dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan di lembaga-lembaga pendidikan nonformal. Sebab, keberadaan para tutor ini juga untuk mendukung perbaikan kualitas sumber daya manusia di daerah, bahkan mampu menjangkau masyarakat di daerah terpencil yang tidak terlayani pendidikan formal.

Menyangkut peningkatan mutu tutor, kata Erman, pemerintah mengajak akademisi dari 15 perguruan tinggi untuk ikut membantu peningkatan kompetensi para tutor dan tenaga kependidikan di pendidikan nonformal.

Suparman, Ketua Umum Forum Guru Independen Indonesia, mengatakan, dalam upaya peningkatan mutu dan kesejahteraan para pendidik, tidak boleh ada dikotomi antara yang pegawai negeri dan swasta, serta guru formal dan nonformal.

”Perhatian harus diberikan pada tutor di pendidikan nonformal,” ujar Suparman.

Pendidikan Nonformal Gratis untuk Anak Putus Sekolah


JAKARTA, SENIN - Tingginya angka putus sekolah, banyaknya anak jalanan dan anak terlantar di Indonesia membuat banyak pihak prihatin, tak terkecuali Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (Indonesian-American Education Foundation) di Jakarta atau di singkat Jakarta IAEF. Jakarta IAEF akan membangun gedung dan memberikan pendidikan nonformal gratis buat anak-anak tersebut.

Demikian diungkapkan Ketua Jakarta IAEF Daniel Dhakidae, Ketua Pembina Jakarta IAEF Azyumardi Azra, anggota Pembina IAEF Jakarta Aristides Katoppo, dan President Dallas IAEF Henny Hughes, kepada pers Senin (27/10) di Jakarta. "Idenya membangun suatu yayasan untuk kepentingan pendidikan, terutama untuk anak-anak putus sekolah, anak jalanan dan anak terlantar. Mereka akan ditampung, dididik dan dilatih hingga mampu berdiri sendiri menopang kehidupannya, tanpa mengeluarkan biaya," kata Daniel Dhakidae.

Bagi mereka sudah lulus dan menguasai keterampilan sesuai bidang yang diminatinya, maka mereka akan disalurkan bekerja di luar negeri dengan jejaring yang dibangun, misalnya di Timur Tengah, Malaysia, termasuk Amerika sendiri. Sejumlah duta besar sudah dikontak dan mendukung program ini. Namun, Jakarta IAEF bukanlah lembaga pengerah jasa tenaga kerja yang mendapatkan fee.

Azyumardi Azra mengatakan, yayasan pendidikan ini dibuat sebagai jembatan budaya kedua negara, Indonesia-Amerika. "Yayasan Pendidikan Indonesia Amerika ini lebih dari soal pendidikan, tapi juga pertukaran budaya, sehingga dengan ini mereka bisa mengetahui dan menghayati, dan saling menghargai kebudayaan masing-masing," katanya.

Karena itu, untuk mendukung ini, Aristides Katoppo berharap banyak pihak, apakah pribadi atau perusahaan yang peduli pendidikan anak-anak bangsa yang terlupakan ini, untuk membantu mewujudkan pembangunan gedung Learning Center, tempat mereka membekali diri dengan berbagai keterampilan untuk berkarya.

"Tanggal 11 Desember 2008, akan digelar malam dana bertajuk We are the Forgotten Children of Indonesia di Balai Sarbini. Diharapkan masyarakat mau menyumbang, bersimpati, dan memberikan solidaritas dan kebersamaan," ujarnya.

Henny Hughes menambahkan, gagasan ini berdasarkan investigasi dua tahun lalu. Untuk membawa anak-anak itu kembali belajar, motivasinya harus dari diri mereka sendiri. Keinginan belajar dari mereka itu harus kuat.

Membawa mereka kembali belajar bukanlah hal yang mudah, akan tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil karena pengaruh kehidupan liar di luar rumah telah merubah pola pikir mereka. "Untuk itu dibutuhkan metode khusus, praktis dengan bahasa yang sederhana dan berbagai variasi sistem penyampaian, misalnya melibatkan audio-visual agar lebih mudah dipahami, sehingga membuat belajar sebagai bagian dari aktivitas yang menyenangkan dan menjadi suatu kebutuhan," jelasnya.

Menurut Henny, pendidikan nonformal di Learning Center bisa menampung 400 anak. Walaupun yang menjadi target sementara adalah mereka yang putus sekolah dan yang memasuki usia dewasa atau 17 tahun ke atas, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu maka Learning Center juga akan dapat menampung berbagai tingkatan, termasuk anak-anak setingkat SD hingga universitas. Bahkan, akan menjangkau setiap warga yang ingin meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.

Learning Center yang didesain oleh Fakultas Teknik Jurusan Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti, untuk tahap awal selain memiliki fasilitas belajar-mengajar dan training juga memiliki sejumlah fasilitas olahraga. Bangunan tiga lantai seluas lebih kurang 2.000 meter persegi di atas tanah seluas 3.000 meter persegi itu, rencananya akan dilaksanakan pada awal tahun 2009 dan diharapkan akan dapat dioperasikan pada pertengahan tahun 2010.

STRUKTUR PENDIDIKAN TINGGI

Bentuk Perguruan Tinggi 

Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dan dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas. 

Akademi menyelenggarakan program pendidikan profesional dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, atau kesenian tertentu. 

Politeknik menyelenggarakan program pendidikan profesional dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus. 

Sekolah Tinggi menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/atau profesional dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu. 

Institut menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian yang sejenis. 

Universitas menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian tertentu. 
  

Jalur Pendidikan 

Struktur pendidikan tinggi di Indonesia terdiri dari 2 jalur pendidikan, yaitu pendidikan akademik dan pendidikan profesional. 

Pendidikan akademik adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan dan pengembangannya, dan lebih mengutamakan peningkatan mutu serta memperluas wawasan ilmu pengetahuan. 
Pendidikan akademik diselenggarakan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas. 

Pendidikan profesional adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu, serta mengutamakan peningkatan kemampuan/ketrampilan kerja atau menekankan pada aplikasi ilmu dan teknologi. Pendidikan profesional ini diselenggarakan oleh akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas. 

Pendidikan akademik menghasilkan lulusan yang memperoleh gelar akademik dan diselenggarakan melalui program Sarjana (S1-Strata1) atau program Pasca Sarjana. Program pasca sarjana ini meliputi program Magister dan program Doktor (S2 dan S3). 

Pendidikan jalur profesional menghasilkan lulusan yang memperoleh sebutan profesional yang diselenggarakan melalui program diploma (D1, D2, D3, D4) atau Spesialis (Sp1, Sp2). 

Program pendidikan sarjana dan diploma merupakan program yang dipersiapkan bagi peserta didik untuk menjadi lulusan yang berbekal seperangkat kemampuan yang diperlukan untuk mengawali fungsi pada lingkungan kerja, tanpa harus melalui masa penyesuaian terlalu lama. 

Program pendidikan pasca sarjana S2 (Magister), S3 (Doktor), dan Spesialis (Sp1, Sp2) merupakan program khusus yang dipersiapkan untuk kegiatan yang bersifat mandiri. Pendidikan S2 dan S3 lebih menekankan pada penelitian yang mengacu pada kegiatan inovasi, penelitian dan pengembangan, Sedangkan pendidikan spesialis ditujukan untuk meningkatkan pelayanan bagi pemakai jasa dalam bidang yang bersifat spesifik.

Bappenas: Peran Perguruan Tinggi Penting

BANDUNG, RABU - Pemerintah optimistis mampu meraih laju pertumbuhan ekonomi (LPE) tahun 2009 sebesar 5,5 persen kendati berada dalam kondisi krisis global. Dua upaya utama yang dipersiapkan antara lain peningkatan kualitas sumber daya manusia dan penguatan ekonomi domestik.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) Paskah Suzetta menjelaskan realisasi pencapaian LPE nasional sampai akhir tahun lalu berkisar 6,1 persen . Sementara tingkat pengangguran berada pada posisi 15,4 persen.


"Tahun 2009, ditargetkan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen agar tingkat pengangguran bisa berkisar 9,3 persen," kata Paskah di Universitas Padjadjaran, Bandung, Kamis (7/1) .


Untuk meraih target tersebut, pemerintah telah merencanakan stimulus penguatan yang telah disesuaikan dengan ketentuan presiden dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009. Stimulus yang akan dilakukan pemerintah, jelas Paskah, yakni penguatan ekonomi domestik dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.


Pendidikan tinggi pun menjadi salah satu penentu. Alasannya, dalam konteks daya saing global, peranan pendidikan tinggi sangat penting dalam mendorong percepatan kemajuan bangsa.


Pemerintah sendiri mengambil strategi pengembangan dinamika pengembangan ekonomi global yang digerakan ilmu pengetahuan. Paskah mengatakan, strategi ini menempatkan pendidikan tinggi pada posisi yang strategis.


"Lulusan perguruan tinggi akan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Inilah yang disebut knowledge driven economic growth," katanya.


Saat ini, pembangunan pendidikan nasional masih belum memadai untuk menghadapi persaingan global. Daya saing masih lemah dibandingkan negara lain. Salah satu indikatornya terlihat dari angka paritisipasi kasar (PT) pada jenjang perguruan tinggi yang pada 2007 hanya berkisar 17,25 persen . Padahal APK Thailand mencapai 42,7 persen, Malaysia 32,5 persen, dan Filipina 28,1 persen .


Mengacu pada World Compteitiveness Report 2007-2008, posisi Indonesia di ASEAN berada pada urutan keempat. Singapura berada di posisi pertama, Malaysia kedua, dan Thailand ketiga.


"Dalam konteks penguasaan iptek, Indonesia tergolong pada kelompok technology adaptor countries. Dengan kata lain baru bisa mengadopsi teknologi dan belum sampai pada tahapan implementasi. Pendidikan kita masih banyak yang masih harus diperbaiki," paparnya.


Paskah menyebutkan, pemerintah telah melakukan komitmen politik untuk memperkuat sektor pendidikan. Salah satunya dengan mengalokasikan 20 persen APBN 2009 untuk kegiatan pendidikan nasional.


Alokasi dana pendidikan pada tahun ini berkisar Rp 207,4 triliun. Dalam konteks pendidikan tinggi, penambahan alokasi pendidikan berfokus kepada peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan, serta peningkatan mutu pendidikan dan penelitian untuk memperkuat daya saing bangsa.


Perguruan Tinggi Ikut Awasi UN 2009

JAKARTA, SENIN – Mulai tahun ini, tim pengawas Ujian Nasional (UN) akan ditambah dengan melibatkan perguruan tinggi dalam Pengawas Satuan Pendidikan. Mereka ditigaskan mengawasi pelaksanaan UN di SMA/ MA yang akan memantau, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan UN di wilayahnya kepada Menteri dan BSNP.

Hal itu dikatakan Koordinator Ujian Nasional, Djemari Mardapi, dalam konferensi pers di Gedung Depdiknas, Jl Jend Sudirman, Jakarta, Senin (12/1).


“Kalau tim pemantau independen itu kan memang sudah ada untuk di SMP/Mts/ SMP luar Biasa dan SD, sedangkan tim pengawas untuk perguruan tinggi ya tim dari perguruan tinggi ini,” kata Djemari.


Mardapi mengatakan dalam pelaksanaannya, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akan bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) untuk menempatkan mahasiswanya dalam penyelenggaraan UN. “BNSP akan menunjuk PTN berdasar rekomendasi Majelis Rektor PTN sebagai koordinator perguruan tinggi di provinsi tertentu,” katanya.


Tugas mereka, menurut Djemari Mardapi, selain menjaga keamanan dan kerahasiaan penggandaan dan pendistribusian naskah, juga melakukan pemindaian (scanning) lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) dengan menggunakan perangkat lunak yang ditetapkan BSNP.


“Mereka ditempatkan di tiap satuan pendidikan minimal 1 orang. Kalau ada 10 kelas minimal ada 1 orang pengawas dari tim perguruan tinggi, tetapi tak boleh masuk ke dalam ruangan,” kata Djemari Mardapi.


Dikatakan Ketua Badan Standar Nasional pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo, pengawas dari perguruan tinggi maupun tim pengawas independen atau siapapun termasuk pejabat yang meninjau tak diperbolehkan masuk ke dalam ruangan tes. “Ini demi menjaga konsentrasi siswa, karena waktu mengerjakan siswa dapat berkurang bila perhatian teralihkan,” katanya.


Pengawas dari perguruan tinggi dan tim independen boleh masuk bila ditengarai ada tindak kecurangan yang terjadi. “Pengawas dalam ruangan untuk SD, SMP dan SMU tetap 2 orang guru yang telah ditentukan dari sistem silang dari sekolah yang berbeda,” jelasnya.


Pameran Pendidikan Tinggi Eropa di Jakarta

JAKARTA, SELASA - Komisi Eropa yang dikelola sebuah konsorsium yang terdiri dari Nuffic (Belanda), Campus France (Prancis), DAAD (Jerman), dan British Council (Inggris) bakal menggelar dua acara pendidikan Asia-Link Symposium dan pameran pendidikan tinggi Eropa. Kegiatan ini untuk meningkatkan kerjasama pendidikan tinggi antarinstitusi di Asia dan eropa, serta menarik minat pelajar Asia untuk melanjutkan studi di Eropa.


Acara Asia-Link Symposium diadakan pada 31 Oktober di Hotel Shangrila Jakarta. Simposium ini membahas kebijakan kerjasama pendidikan tinggi anatra Indonesia dan Uni Eropa.


Adapun pameran pendidikan tinggi Eropa dilaksanakan pada 1-2 November di Balai Kartini Jakarta. Pameran pendidikan diikuti 90 perwakilan institusi pendidikan tinggi di Eropa.


"Pada kesempatan ini, masyarakat juga bisa memperoleh informasi mengenai beasiswa dan kesempatan riset di berbagai negara Eropa," kata Marrik Bellen, Direktur Neso Indonesia yang bertindak sebagai Project Implementation Unit di Jakarta, Selasa (21/10).


Dewasa ini, Eropa memiliki sekitar 4.000 perguruan tinggi dengan 1,5 juta akaemidsi, di mana 435.000 di antaranya adalah peneliti. Jumlah mahasiswa di Eropa mencapai 17 juta orang.