Profil Saya


Andhang Pramadhani yang biasa di panggil Andank, lahir di Pemalang sebuah kabupaten di Jawa Tengah, pada tanggal 16 Juni 1990. Saya anak kedua dari tiga bersaudara.

Pada saat saya berumur 4 bulan, saya langsung di bawa oleh ibu saya untuk pindah ke Bekasi karena harus mengikuti Ayah saya yang bekerja di Jakarta. Setelah umur saya menginjak 3 tahun, saya ingin merasakan pendidikan formal dan akhirnya saya di sekolah kan oleh Ibu saya di sebuah TK di daerah Bekasi, tapi maaf saya lupa dengan nama TK tersebut yang pasti tepatnya TK tersebut ada di Perumahan Villa Mas Garden Bekasi. Semasa di TK saya penah mengikuti sebuah perlombaan mewarnai antar TK dan saya menjadi juara pertama pada perlombaan tersebut. Pada saat umur saya 4 tahun, saya harus kembali lagi pulang ke kampung halaman saya di Pemalang, karena Nenek saya di rumah sendirian dan beliau sudah mulai sakit-sakitan, jadi Ibu saya harus menjaga dan merawatnya. Maklum, Ibu saya adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara.

Setelah pindah ke Pemalang, saya melanjutkan studi saya di sebuah TK di dekat tempat tinggal saya. Saya tinggal di Desa Randudongkal dan TK tersebut namanya adalah TK Salafiyah. Menginjak umur 5 tahun, saya sudah mulai merasakan kejenuhan serta bosan dengan suasana pembelajaran di Taman kanak-kanak karena saya sudah merasakan pendidikan tersebut selama dua tahun dan saya sudah lulus. Tetapi karena usia saya masih tergolong muda untuk melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar, maka Ibu saya menitipkan saya kepada seorang guru Sekolah dasar di daerah saya agar saya dapat merasakan pendidikan Sekolah Dasar. Guru tersebut tidak lain adalah tetangga saya sendiri. Pada awalnya saya hanya ikut-ikutan belajar saja, tetapi pada setiap caturwulan kelas satu, saya selalu mendapatkan peringkat di kelas. Jadi saya dapat meneruskan belajar sampai dengan kelas dua, hingga lulus dari pendidikan Sekolah Dasar. Saya mendapatkan pendidikan dasar di SD Negeri 5 Randudongkal.

Semasa belajar di Sekolah Dasar dari kelas satu sampai kelas enam, alhamdulillah hampir setiap caturwulan saya selalu mendapatkan peringkat di kelas. Sehingga pada saat saya lulus dari Sekolah Dasar, saya dapat melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama yang bagus di daerah saya. Saya melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama pada saat usia saya menginjak umur 11 tahun. Saya memperoleh pendidikan menegah pertama di SMP Negeri 1 Randudongkal. Pada awal saya memulai belajar di Sekolah Menengah Pertama, saya mulai merasakan perbedaan dalam pembelajarannya karena di tingkat Sekolah Menengah Pertama saya mendapatkan guru yang berbeda-beda setiap mata pelajaran. Berbeda pada saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar yang masih menggunakan guru kelas, hanya pada mata pelajaran tertentu saja guru lain yang mengajar. Jadi pada saat saya memulai belajar di tingkat Sekolah Menengah Pertama, saya harus menyesuaikan diri dengan keadaan baru tersebut. Karena pelajaran-pelajaran di tingkat Sekolah Menengah Pertama tergolong asing bagi saya, maka saya mengikuti pembalajaran tambahan di luar jam sekolah ( Les private ) dan usaha saya ini tidak sia-sia karena hampir setiap caturwulan atau semester saya selalu mendapatkan peringkat di kelas. Tidak hanya setiap caturwulan atau semester saja, tetapi pada saat Ujian Akhir pun saya mendapatkan nilai yang cukup memuaskan, sehingga saya dapat melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas dan dapat memilih Sekolah yang bagus.

Saya lulus pendidikan Sekolah Menengah Pertama pada usia 14 tahun dan saya langsung meneruskan pendidikan formal yang lebih tinggi lagi yakni pendidikan Sekolah Menengah Atas. Saya meneruskan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Pemalang. Tidak berbeda jauh pada saat saya pertama kali merasakan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Pertama, saya kali ini juga harus menyesuaikan diri dengan pembelajaran di Sekolah Menengah Atas karena pada saat saya menginjak pendidikan Sekolah Menengah Atas, kurikulum di negara Indonesia mengalami pergantian sehingga cara pembelajarannya pun akan berbeda. Pada saat itu kurikulum baru yang di pakai adalah Kurikulum Berbasis Kopetensi ( KBK ). Karena dalam kurikulum yang baru ini tidak ada urutan peringkat kelas, maka saya agak lumayan santai yang paling penting adalah nilai-nilai saya bagus. Dan pada saat saya menginjak usia 17 tahun, akhirnya saya lulus dari Sekolah Menengah Atas dengan nilai yang memuaskan.

Walaupun saya tidak menyukai jurusan yang saya ambil dan yang sudah saya jalankan selama 2 semester ini, saya masih tetap belajar dengan tekun agar dapat lulus tepat waktu dan mendapatkan nilai yang memuaskan. Aminnnnnn....

Sekian cerita perjalanan hidup saya, mungkin ada kata-kata yang kurang enak ataupun ada kesalahan dalam pengetikannya, saya pribadi memohon maaf. Terima kasih.

Jumat, 27 Februari 2009

41 Juta Pekerja Informal Belum Miliki Jaminan Sosia

JAKARTA, KAMIS-Sekitar 41 juta pekerja di sektor informal selama ini tidak tercover oleh program jaminan kesejahteraan sosial atau asuransi .

Padahal Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk mengemban sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah, dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

"Agar pekerja sektor informal seperti tukang ojek, pedagang jamu, pedagang makanan, buruh tani dan nelayan tidak jatuh ke level kemiskinan, Departemen Sosial menawarkan Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos). Aksesos pada prinsipnya adalah program perlindungan atau asuransi sosial kepada para pekerja mandiri di sektor informal yang meliputi pembiayaan," kata Direktur Jaminan Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI, Akifah E, Kamis (23/10) di Jakarta.

Data Pusdatin Departemen Sosial per 2006 menyebutkan, rumah tangga miskin di 33 provinsi di Indonesia mencapai 19,10 juta keluarga atau 76 juta jiwa (dengan asumsi 4 jiwa per keluarga). Jumlah ini setara dengan 35 persen dari total populasi Indonesia. Jika yang 41 juta pekerja sektor informal ini tidak diberikan program Askesos, mereka bisa jatuh ke level rumah tangga miskin.

Akifah menjelaskan, Askesos baru diterapkan menyeluruh sejak tahun 2007, sedangkan ujicoba sudah ada sejak 1987. Lalu karena Presiden Gus Dur membubarkan Departemen Sosial, program ini bubar. Baru tahun 2003 kemudian diujicobakan lagi. Hingga September 2008, program Askesos berhasil mencakup 144.600 kepala keluarga dengan 671 lembaga pelaksana Askesos. Tahun 2009 ditargetkan peserta Askesos mencapai 60.000 kepala keluarga dengan 300 lembaga pelaksana.

Untuk jadi peserta Askesos ini, Afikah melukiskan, peserta hanya diwajibkan membayar premi Rp5.000 per bulan. Premi ini sekaligus juga sebagai tabungan, jika tak dilakukan klaim, sehingga memberikan perlindungan ekstra di masa datang.

"Jika ada klaim, untuk peserta yg sakit dapat Rp100 ribu. Sedangkan yang meninggal dapat Rp200 ribu jika masuk tahun pertama, Rp400 ribu jika masuk tahun kedua, dan Rp600 ribu jika masuk tahun ketiga. Yang ditanggung Askesos bukan biaya perawatan, tapi biaya makan," jelasnya.

Sedangkan model Askesos yang baru, yang diujicobakan di 10 provinsi, biaya klaim dinaikkan, misalnya jika meninggal bisa dapat asuransi Rp400 ribu sampai Rp1 juta, tapi dari Rp5.000 itu premi yang hilang Rp1.500. Artinya, yang ditabung oleh peserta dari Rp 5000 premi per bulan adalah Rp3.500.

Menurut Direktur Jamkesos ini, dengan mengikuti Askesos, kelompok masyarakat yang bekerja di sektor informal mendapat perlindungan sosial yang sama dengan kelompok masyarakat lain yang bekerja di sektor formal. Selain itu, dengan belajar asuransi plus menabung ini, kelompok masyarakat informal ini diharapkan memperoleh tahapan kesejahteraan sosial yang lebih baik secara jangka panjang.

Askesos ini, lanjut Afikah, baru memperkenalkan bagaimana mereka peduli dengan asuransi, bagaimana merubah sikap mental masyakat pekerja sektor informal. Ini dalam taraf pendidikan buat masyarakat. Walaupun demikian, di Sulawesi Tengah, ada organisasi soial pelaksana yang berinisiatif mengikutsertakan peserta Askesos ini untuk program Jamsostek.

Biaya klain Askesos ini berasal dari APBN, sekitar Rp22 miliar, termasuk juga untuk program Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen (BKSP), bagi anggota masyarakat miskin yang masuk kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), seperti lanjut usia, penyandang cacat mental dan fisik, dan penyandang psikotik atau eks penyakit kronis yang terlantar.

"Keberhasilan program ini tergantung daerah, bagaimana ia merekrut organisasi/lembaga sosial yang kredibel sebagai pelaksana/pengelola Askesos," jelas Afikah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar