Jika kita menilai secara jujur dan realistis, yang disebut lembaga sekolah di tanah air kita ini, tidak lebih adalahlembaga yang memberikan pelajaran-pelajaran formal dalam mengembangkan aspek intelektual yang cendrung teoritis. Artinya, dari sisi sistimatik lembaga sekolah sangat bersifat pengajaran dan nyaris tak menyentuh aspek pendidikan, hal ini bisa dilihat dari standar kenaikan ataupun pelulusan yang hanya mengutamakan nilai intelektual yang diwujudkan dengan NUN (Nilai Ujian Nasional).
Pola pendidikan yang timpang ini, jika ditelusuri akan ditemukan titik tolaknya yang bersumber dari falsafah dasar sistem persekolahan kita. Menurut Agus Sunyoto sebagai pemerhati pendidikan, “bahwa falsafah dasar yang dianut oleh sistem persekolahan kita adalah filsafat positivisme yang bersifat sekuler, materialis, rasionalis dan bebas nilai”. Oleh karena itu, maka semua gerak dan perkembangan sekolah, tidak akan jauh keluar dari konteks tersebut.
Dengan demikian, dalam bahasa agamisnya, sistem persekolahan yang kita anut ini adalah sistem Jahiliyyah yang berkiblat ke Barat. Dengan falsafah dasar seperti itu, wajar saja jika pengembangan kurikulum di sekolah hanya berisi seperangkat disiplin ilmu, yang semata-mata hanya mengembangkan aspek intelek anak didik dan mengabaikan aspek pembinaan kepribadian anak didik. Maka kita dapatkan gambaran diperkotaan yang cendrung sekolahnya lebih maju dan elit, justru dari tempat itu sering muncul masalah, tawuran, penyalahgunaan narkoba, dan tindak kriminal lainnya, yang tidak melambangkan identitas insan yyang tinggi pendidikannya. Mungkin penilaian ini apriori, tapi disadari atau tidak, kondisi sekolah yang lebih mapan dalam segala hal tidak menjamin sanggup melahirkan orang yang benar, tapi hanya mampu melahirkan orang yang pintar, dan ini berbahaya. Pendidikan Agama sebagai disiplin ilmu yang bersifat pendidikan, turut pula berada dalam dinamika sistem Jahiliyyah tersebut. Dan tidak menutup kemungkinan untuk ikut serta terperangkap dalam sistem tersebut.
Dengan demikian keberadaan mata pelajaran yang bersifat pendidikan seperti pendidikan agama dalam sekolah hanya bersifat “tambahan” Dengan menilai secara jujur, dan realistis sekitar materi pelajaran sekolah yang kurang memperhatikan aspek pembinaan kepribadian, maka wajar saja jika pada gilirannya lembaga sekolah sering dikeluhkan sebagai sumber lahirnya pengangguran, karena lulusan sekolah (yang tidak memiliki ketrampilan dan pribadi yang tangguh dan mandiri) ternyata tidak siap pakai dalam menghadapi bidang pekerjaan yang menjadi profesinya. Lembaga sekolah sering hanya seperti menara gading, yang banyak menjadi penyebab pengasingan anak didik terhadap budaya yang ada disekitarnya.
Sementara berbagai kasus di sekolah seperti tawuran antar pelajar, siswa menyeroyok guru, ugal-ugalan di jalan, penggunaan narkoba, minum-minuman keras, siswa berbuat mesum dan berbagai kasus memalukan yang lain, seringkali menimbulkan pertanyaan sekitar implementasi pendidikan agama di sekolah. Apa yang dilakukan guru agama dalam mendidik siswa-siswanya, apakah guru agama tidak mampu meng-implementasi-kan ajaran agama kepada para siswa ?
KEBERADAAN PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH
Sebenarnya, jika menelaah keberadaan Pendidikan Agama di sekolah, secara jujur dapat dinilai, sepanjang sejarahnya, pada dasarnya sudah diperlakukan sedemikian rupa tidak manusiawinya. Mata pelajaran agama justru telah disudutkan sedemikian rupa seolah-olah hanya tinggal sebuah mata pelajaran tentang agama Islam yang teoritik yang sekedar membahas hal-hal yang berkaitan dengan peribadatan, tidak lebih. Walhasil guru agama hanya menyampaikan pelajaran teoritik tentang ibadah ritual keagamaan dengan waktu yang sangat singkat. Lebih mengenaskan lagi, pendidikan agama diberbagai sekolah hanya diberi dua jam pelajaran.
Dengan menyadari keberadaan pendidikan Agama di lembaga sekolah yang tidak lebih hanya di fungsikan sebagai tambahan itu, maka amat memprihatinkan sekali jika ada masyarakat, terutama para pengajar agama berharap terlalu banyak untuk bisa memberikan kontribusi terhadap pembinaan anak didik di sekolah. Sebab ditinjau dari aspek waktu dan materi pelajaran mustahil bisa diperoleh kontribusi yang optimal. Malah sering kali, jika terjadi ketimpangan perilaku anak didik di sekolah yang cenderung dijadikan sasaran kesalahan adalah guru agamanya yang dinilai kurang bisa membina dan membimbing murid-muridnya dengan baik. Kondisi ini tentu amat memprihatinkan. Jujur saja, dibanding mata pelajaran lain, keberadaan mata pelajaran pendidikan agama di sekolah hanya memperoleh waktu yang singkat sekali,. Kondisi ini tentu saja akan menyulitkan guru dalam melaksanakan tugas secara optimaldalam mentransformasikan ilmu pendidikan agama kepada anak didik.
Sementara sistem pendidikan yang berjenjang, semakin tidak menguntungkan penanaman ilmu agama karena waktu tatap muka, dalam mentranformasi dari buku teks tidak didayagunakan secara optimal. Contoh sederhana, satu buku teks yang sesogyanya harus dipelajari dalam tempo yang lama dan berulang-ulang, harus diselesaikan dalam waktu singkat, karena harus mengikuti prosedur sistimatik kurikulum yang ada. Seakan-akan guru harus menuntaskan materi pelajaran sesuai target kurikulum tanpa melihat hasil dari penanaman kepribadian yang didapat anak didik. Menyadari keberadaan sistem persekolahan beserta kompleksitasnya disatu pihak dan keberadaan pendidikan agama dipihak lain, maka alternatif yang dapat ditawarkan, terutama dalam era otonomi daerah ini, adalah adanya perubahan sistem persekolahan yang diterapkan, hendaknya diganti dengan sistem persekolahan yang lebih cocok dengan kepribadian bangsa kita. Hal ini sudah mulai dirintis, misalnya dalam proses persekolahan, ada rambu nilai-nilai moral yang dijadikan pijakan dalam menentukan proses pelulusan, walau masih keliharan ragu-ragu, tapi itu merupakan awal dari sebuah proses menuju cita-cita yang diinginkan dalam falsafah negara kita.
Hal inilah yang ingin diperkecil dampaknya dengan menonjolkan pentingnya peningkatan kehidupan beragama, yang ingin dimulai di sekolah-sekolah. Bahwa tujuan pendidikan agama diajarkan adalah berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertaqwa, dan beribadah dengan baik kepada Allah sehingga memperoleh kebahagiaan dunia akherat . Dengan harapan anak didik dapat meningkatkan iman dan taqwa ditengah perubahan masyarakat yang memang dibutuhkan dan tidak dapat dihindari ini, sehingga tercapai keseimbangan antara kehidupan jasmani dan kehidupan rohani.
Dalam menentukan suatu metode yang akan digunakan sebenarnya tidak sulit, masalahnya adalah bagaimana dengan metode itu, proses pembelajaran dapat efektif dalam mencapai tujuan yang diharapkan, oleh karenanya sebelum menentukan suatu metode yang akan digunakan, seorang pendidik perlu menyusun langkah-langkah dalam pembelajarannya, sehingga akan serasi antara materi, tujuan dengan metode yang digunakannya. Ada berbagai macam metode dalam pembelajaran, menurut Husni Rahim dkk, diantaranya : Ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, tugas belajar dan resitasi, kerja kelompok, sosiodrama, problem solving, sistem regu, simulasi, tutorial, studi kasus, curah gagasan, studi bebas, kelompok tanpa pemimpin, dan latihan.
Dari sekian banyak metode ini, yang perlu disadari bahwa tiap-tiap metode masing-masing mempunyai kelemahan dan kelebihan, oleh karena guru harus berusaha memadukan berbagai metode yang ada, dengan mempertimbangkan aspek-aspek dalam menentukan suatu metode, maka guru jangan hanya terfokus pada satu metode dalam pembelajarannya, apalagi menyangkut pelajaran agama, diperlukan metode secara terpadu dan bisa saja beberapa metode dilakukan sekaligus. Dalam konteks pendidikan agama Islam, menurut al Ghazali metode pengajaran harus berprinsip pada child centered yaitu mementingkan anak didik daripada pendidik itu sendiri.
Implimentasi dari prinsip metodologi tersebut adalah penggunaan metode keteladanan, bimbingan dan konselingcerita motivasi dan reinforcement.namun demikian karena pendidikan Islam mencakup pembinaan ketrampilan , afektif dan kognitif, maka metode pengajaran harus dapat menyentuh perasaan, mendidik jiwadan membangkitkan semangat. Menurut al Nahwawi, metode yang sesuai untuk pendidikan agama Islam sebagaimana yang terdapat dalam al qur’an dan Hadits, sebagai berikut :
- Metode Hiwar Qur’ani dan Nabawi Yaitu metode dialog silih berganti antara dua pihak atau lebih tentang suatu tema yang mengarah pada tujuan pendidikan yang ingin dicapainya.
- Metode Kisah Qur’ani dan Nabawi Yaitu metode dengan menggunakan kisah yang menarik dan mengambil teladan dari kisah tersebut, karenanya dalam menampilkan suatu kisah harus memilih tokoh yang menarik dan dapat dijadikan panutan.
- Metode Amtsal Yaitu metode dengan ceramah atau membaca teks, yang hampir sama dengan metode kisah, metode ini dapat mempermudah siswa dalam memahami suatu konsep yang abstrak, merangsang kesan terhadap suatu makna yang tersirat, metode ini pula dapat memberikan motivasi untuk berbuat baik dan menjahui kejahatan
- Metode Teladan Yaitu metode yang menggunakan keteladanan dalam menanamkan penghayatan dan pengamalan materi pendidikan agama
- Metode Pembiasan Yaitu metode pengulangan yang dilakukan secara terus menerus, sehingga menjadi suatu kebiasaan, seperti mengucapkan salam
- Metode Ibrah dan Mauziah Yaitu metode dengan menelaah ibrah dari kisah, bukan hanya historisnya tapi implimentasi dari kisah itu sendiri, mauziah yaitu metode dengan nasehat yang lembut dan menyentuh
- Metode Targhib dan Tahrib Yaitu Metode yang didasarkan kepada ganjaran dan hukuman Upaya guru dalam
- Sikap dan pengamalan diri terhadap hubungannya dengan Allah
- Sikap dan pengamalan diri terhadap hubungannya dengan masyarakat
- Sikap dan pengamalan diri terhadap hubungannya dengan Alam
- Sikap dan pengamalan diri terhadap arti hubungannya sebagai hamba Allah, selaku anggota masyarakat dan selaku kholifah di bumi.
Nah, persoalannya yang mendasar adalah kemampuan guru dalam mengevaluasi, menyangkut penggunaan metode evaluasi, pengambilan alat evaluasi yang tepat dan teknik evaluasi yang valid, karenanya dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan dalam mengevaluasi peserta didiknya yang tidak kalah terpentingnya, bahwa prinsip dari sistem evaluasi yang dilakukan, menurut Husni Rahin, harus dilakukan secara terus menerus, menyeluruh dan ikhlas.
Agar persoalan-persoalan yang kami kemukakan diawal tidak terjadi, dan dapat diminimalkan, kecemasan atas kegagalan pendidikan agama di sekolah yang dituduhkan sebagian kalangan selama ini, tidak terbukti. Maka tugas pengajar pendidikan agama menjadi sangat penting dalam menjaga dan mengawal prilaku anak, walaupun peran dan wewenanya terbatas, dapat sungguh bermakna dalam membina dan membimbing generasi penerus bangsa dari kegersangan rohaninya.
Keberadaan pendidikan agama di lembaga sekolah, walaupun oleh sebagaian orang masing disangsikan peran dan fungsinya, tetap mempunyai andil yang besar dalam membina dan meningkatkan kepribadian anak. Kasus yang terjadi diberbagai tempat, dapatlah dijadikan pelajaran berharga bagi para pendidik, untuk dicarikan solusinya. Karenanya pendidikan agama jangan hanya menjadi mata pelajaran teoritis saja, tapi lebih kepada mengamalan, penghayatan, dan peningkatan kepribadian anak didik secara menyeluruh.
Karenanya dibutuhkan intrumen evaluasi yang komprehensif dan menyeluruh, tidak hanya mengukur aspek kognitif semata, tetapi aspek yang lain perlu juga di evaluasi, sehingga anggapan pendidikan agama hanya sebagai tambalan di sekolah secara perlahan akan hilang dengan sendirinya, dan keberadaan pendidikan agama di sekolah benar-benar menjadi sesuatu yang urgen bagi anak didik dalam menghadapi berbagai persoalan di masa mendatang.
http://paijo-islamic.blogspot.com/2008/10/implementasi-psikologi-pendidikan-agama.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar