Tanpa memiliki pengabdian yang berupa panggilan jiwa untuk ikut sera mencerdaskan kehidupan anak bangsa ini, khususnya kalangan bawah ini pendidik non formal yang jamak disebut tutor ini akan sulit untuk bertahan.
Bayangkan hanya dengan honor Rp108.000 per bulan, seperti yang.diterima oleh Ayu, tutor bahasa Indonesia di Kabupaten Ende ini bagaimana bisa bertahan hidup. Itu pun, diterima oleh sarjana S-1 tiga bulan sekali. Namun, gadis berjilbab asli Ende, NTT ini mengatakan menjadi pendidik adalah panggilan jiwa. Banyak teman saya pindah profesi, karena persoalan kebutuhan hidup, ujar nona berusia 26 tahun ini.
Muslimah yang rajin puasa Senin-Kamis ini untuk menambah penghasilannya menjadi guru honor di salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Kota Ende. Itu pun hanya Rp200.000 sebulan.
Berbeda dengan Ayu, tutor bahasa Inggris Sylvester yang mengajar tiga kelas di Kabupaten Manggarai lebih beruntung. Meskipun, masih dibayar tiga bulan sekali, honornya Rp150.000 per bulan, Sedangkan, tenaga lapangan Diknas (TLD) Agustina Prima yang bertugas di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat memeroleh honor Rp700.000 sebulan. Sebagai tenaga lapangan pekerjaannya serabutan. Pokoknya mengisi apa saja yang kurang dalam proses pembelajaran pendidikan non formal di pulau wisata hewan langka tersebut. Ya itu program paket, anak usia dini, maupun keaksaraan, ujar wanita yang namanya sudah masuk data base di Balai Kepegawaian Daerah (BKD) untuk sejak 2005.
Itulah potret guru non formal. Potret buram ini agaknya tidak terlalu jauh berbeda di sejumlah daerah di NTT. Bahkan, juga gambaran kekumuhan guru non formal di seluruh Indonesia nyaris sama saja.
http://ng.republika.co.id/berita/132/Guru_Non_Formal_Ditirikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar