Selama beberapa dasawarsa pendidikan formal merupakan bagian alami kehidupan masyarakat modern dan kita melihat sekolah sebagai prasyarat menjalani kehidupan yang produktif. Mereka yang tak bersekolah hampir dapat dianggap akan tersisih dari tatanan masyarakat modern. Tak ada pilihan lain. Tak ada keberuntungan bagi yang tak bersekolah.
Bagaimana sebenarnya kontribusi pendidikan formal, terutama sekolah menengah? Dua berita di Kompas (5/8/2008) melaporkan bahwa hanya 17,2 persen dari 28 juta penduduk Indonesia usia 19-24 tahun dan 6,2 persen dari 306.749 murid di SMP Terbuka yang dapat meneruskan sekolah ke jenjang pendidikan tinggi.
Padahal kebanyakan SMA, terutama SMAN, masih menekankan hafalan terhadap lebih dari selusin mata pelajaran setiap minggunya dan mempersiapkan siswa untuk ujian nasional, dengan harapan kebanyakan dari lulusan sekolah akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Namun, ternyata upaya ini hanya mencakup 17,2 persen pemuda- pemudi Indonesia. Lalu, apakah fungsi pendidikan di sekolah menengah bagi 82,8 persen ’sisa’ nya?
Dalam sebuah kunjungan ke SMAN 1 di Desa Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saya mengamati murid pada mata pelajaran Kimia sedang mempelajari letak atom pada tabel periodik untuk mengidentifikasi jenis zatnya. Sekolah tersebut tak memiliki dana melangsungkan eksperimen di laboratorium kimia sehingga pelajaran kimia menjadi abstrak.
Walaupun sebagian dari lulusan SMAN 1 berencana melanjutkan ke universitas, lebih banyak yang akan mencoba memasuki dunia kerja dengan menggunakan ijazah SMA mereka sebagai satu-satunya modal. Di desa yang berpenduduk 22.117 orang itu, hanya 7 persen lulusan SMA dan 1,2 persen lulusan diploma dan sarjana. Dengan kata lain, hanya sekitar 14,6 persen lulusan SMA yang melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya (Kecamatan Marangkayu, 2008). Lalu apakah gunanya kemampuan mengidentifikasi jenis zat sebuah atom untuk kehidupan dan masa depan kebanyakan murid di sana? Nyaris tidak ada.
Ijazah SMA telah dianggap sebagai paspor untuk memasuki dunia kerja, padahal Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan, dari 10 juta penganggur usia kerja, 55 persen berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Jelas, lulusan sekolah menengah tak dipersiapkan dan tak memiliki keterampilan memasuki dunia kerja.
Pendidikan menengah di Indonesia sangat terfokus pada pengembangan kemampuan akademik menuju universitas dan karena itu tidak—atau lebih tepatnya belum—relevan bagi mayoritas pemuda-pemudi Indonesia. Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah pendidikan menengah seperti apa yang lebih relevan?
Mengambil Desa Marangkayu sebagai contoh kasus, 78 persen perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara datang dari bidang pertambangan dan penggalian, serta 11 persen dari pertanian (ProVisi Education, 2007). Adapun di Desa Marangkayu 28,4 persen bekerja di bidang pertanian dan perkebunan karet, 5 persen karyawan, 1,7 persen wiraswasta, dan 2,8 persen bekerja di bidang pertukangan, nelayan, dan jasa, sementara sisanya tidak terdata.
Dengan kata lain, sedikitnya 78 persen sumber perekonomian tidak melibatkan peran dan belum menyejahterakan kebanyakan warga Desa Marangkayu. Dapatkah pendidikan menengah mencoba mengatasi kesenjangan antara kualitas sumber daya manusia dengan kemampuan mengolah sumber alam lokal? Bukankah pekerjaan kebanyakan penduduk di bidang pertanian dan perkebunan karet seharusnya dapat dijadikan sumber pembelajaran?
Saya tidak menyarankan agar semua sekolah menengah di Kabupaten Kutai Kartanegara berbondong-bondong memfokuskan perhatian pada bidang pertambangan, penggalian, dan pertanian. Namun, dari pemahaman yang lebih mendalam tentang sumber daya alam lokal, pembelajaran di sekolah dapat bersifat lebih kontekstual dan bermakna bagi keberlangsungan kehidupan dan kemajuan komunitas lokal.
Misalnya, dalam pelajaran Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi, siswa dapat meneliti asal usul keberadaan Desa Marangkayu, latar belakang sosial ekonomi, jenis pekerjaan, dan permasalahan sosial. Dalam pelajaran Geografi siswa dapat mendatangi lahan-lahan pertambangan, perminyakan, pertanian, dan perkebunan untuk mengkaji perbedaan antarlahan. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan dengan pelajaran Biologi yang mengkaji kondisi dan masalah lingkungan, ekosistem, jenis tanaman, binatang lokal, dan lain-lain.
Kemampuan siswa dalam mewawancara, menganalisis, dan membuat laporan mengasah keterampilan interpersonal, berpikir, dan berbahasa Indonesia. Pengetahuan tentang sumber daya lokal, dari rumput-rumput ilalang, berbagai jenis daun, dan batu-batuan dapat dijadikan bahan dasar untuk pelajaran Kesenian dan Teknik Keterampilan, yang hasilnya dapat dijual ke kota terdekat untuk menjajaki kemampuan berwiraswasta.
Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan memberikan keterampilan dan pengetahuan lokal yang memungkinkan sebagian besar siswa untuk langsung terjun ke dunia kerja, tanpa mengesampingkan pengetahuan akademik bagi mereka yang mampu dan memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dari pembahasan contoh kasus di atas, tersirat bahwa solusi untuk permasalahan pendidikan menengah yang lebih relevan membutuhkan kajian mengenai kondisi lokal sehingga solusinya bersifat kontekstual terhadap komunitas. Kondisi komunitas yang berbeda membutuhkan solusi yang berbeda pula.
sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/21/00264633/relevankah.sekolah.menengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar